Jumat, 10 Juli 2009

Gerakan Reformasi 1998 dan Implikasinya Terhadap Pemantapan Cita Negara Hukum Dalam Konstitusi

A. Pendahuluan
Perubahan merupakan keniscayaan yang tak dapat terelakkan. Ia merupakan gejala umum yang terjadi pada semua masyarakat di dunia ini. Tidak ada satupun masyarakat yang benar-benar statis, cepat ataupun lambat dapat dipastikan bahwa suatu masyarakat akan mengalami perubahan, apakah itu perubahan yang lebih baik, atau yang lebih buruk. Barang siapa tidak mengikuti perubahan yang baik, maka mereka akan terlindas oleh roda waktu, karena zaman hanya akan memberikan kesempatan bertahan bagi mereka yang mampu menciptakan perubahan dan mampu menerima perubahan untuk didayagunakan sebagai modal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan/atau bernegara.
Perubahan yang baik telah menjadi bagian kesejarahan umat manusia yang amat mempengaruhi kehidupan manusia, komunitas, masyarakat atau kenegaraan selanjutnya dan menjadi pegangan guna menapaki masa depan. Gerakan hijrah Muhammad
[1], Revolusi Prancis, Revolusi Inggris, atau peristiwa-peristiwa besar lainnya telah mempengaruhi peradaban manusia di masa selanjutnya, meskipun peristiwa itu sendiri telah terjadi berabad-abad lampau. Gerakan-gerakan tersebut telah menjadi sendi bagi penataan peradaban manusia kini.
Fase perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa penting dan menjadi bagian yang tak terelakkan dalam perkembangan bangsa dan negara ini. Mulai dari kehidupan kerajaan-kerajan di wilayah nusantara, fase penjajahan oleh negara-negara barat terhadap kerajaan-kerajaan nusantara, fase bangkitnya kebangsaan/nasionalisme Indonesia, fase menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, era orde lama, era orde baru dan era orde transisi dan reformasi menjadi bagian penting bagi perjalanan bangsa Indonesia ini.
Sejak Mei 1998, Indonesia memasuki fase baru dalam perjalanan sejarahnya sebagai bangsa yang merdeka dan berdulat melalui gerakan rakyat yang dimotori mahasiswa. Adalah gerakan reformasi 1998, sebuah gerakan guna penataan kembali berbagai bidang kehidupan kenegaraan menuju terciptanya civil soceity, masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera. Kebutuhan akan perubahan dan penataan kembali kehidupan kenegaraan tersebut tidak terlepas dari adanya degradasi moral kepemimpinan, kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kegagalan mengatasi krisis dampak ekonomi dan adanya penyelewengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang berdasarkan Pancasila.
Lahirnya gerakan mahasiswa 66 yang dimotori oleh KAMI, HMI dan berbagai elemen gerakan mahasiswa lainnya maupun gerakan reformasi 98 adalah merupakan koreksi atas orde pemerintahan yang sebelumnya berkuasa atas pelaksanaan kekuasaan negara yang dirasakan tidak memenuhi dan tidak mampu mengsejahterakan rakyat sekaligus prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik, bersih dari KKN, dan memenuhi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Setiap orde pemerintahan memiliki tafsir masing-masing atas nilai-nilai Pancasila yang berbeda satu sama lain, sehingga gerakan reformasi tersebut merupakan manifestasi gerak pemikiran dialektis yang mencoba membongkar pemikiran-pemikiran orde pemerintahan pada masanya. Jika orde lama telah dianggap gagal oleh gerakan mahasiswa angkatan 66 dan orde baru dalam menafsirkan nilia-nilai luhur Pancasila dalam konteks ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, sehingga dianggap terdapat penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 45, maka orde baru pun juga mendapatkan koreksi yang sama oleh gerakan mahasiswa 98.
Dengan kata lain, bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan negara yang dijalankan oleh orde baru dianggap oleh mahasiswa terdapat penyelewengan-penyelewengan yang salah satunya terlihat dalam pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi dan negara hukum. Dari konteks demikian itu kemudian muncul gagasan mengenai agende/tuntutan reformasi 98 yang harus diwujudkan oleh pemerintahan selanjutnya. Tuntutan/agenda tersebut yang telah di tindak lanjuti oleh lembaga legislatif dan eksekutif membawa dampak yang amat besar dalam pelembagaan negara hukum yang demokratis. Berbgai tindakan guna mewujudkan agenda tersebut nampak dalam amandemen UUD, revisi maupun perubahan UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, pembentukan lembaga-lembaga negara baru, reformasi birokrasi dan berbagai usaha lainya.

B. Agenda Reformasi : Sebuah Kritik Atas Kegagalan Orde Baru.
Gerakan Reformasi Tahun 1998 yang di gerakkan oleh mahasiswa memiliki beberapa agenda guna perbaikan bangsa dan negara. Gelombang aksi yang begitu hebohnya saat itu oleh berbagai elemen mahasiswa dan di sokong oleh kekuatan rakyat (people power) mampu mendobrak rezim orba hingga pada tanggal 21 Mei 1998, pimpinan tertinggi negeri ini menyatakan menguindurkan diri. Momen tersebut dianggap sebagai titik awal bergulirnya tuntutan reformasi guna menata bangsa dan negara yang selama 32 tahun dianggap telah carut marut karena berbagai kebijakan yang tidak responsif dan cenderung represif.
[2] Melalui terbukanya pintu tersebut, maka agenda reformasi dapat berjalan secara berkesinambungan.
Selama lebih dari 32, bahkan sejak rezim otoritarian orde lama dengan demokrasi terpimpimnnya berbagai praktik kekuasaan dapat dikatakan semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law. Berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan tindakan represif dari aparat keamanan khususnya ABRI selalu menjadi upaya utama guna menjaga stabilitas pemerintahan.
Di balik carut marutnya praktik pemerintahan di atas dan dibarengi momentum kejatuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 membangkitkan perlawanan guna menegakkan kembali prinsip-prinsip negara demokrasi dan negara hukum. Dari kerangka cita tersebut kemudian dilahirkanlah gagasan point-point tuntutan dan agenda reformasi. Masing-masing tuntutan sendiri mencerminkan kegagalan pemerintah orde baru dalam menjalankan pemerintahannya, atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kebutuhan pelembagaan negara hukum yang demokrastis. Berturut-turut agenda-agenda tersebut akan diuraikan di bawah ini.
[3]
• Amandemen UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
[4]
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan MPR yang dilekatkan label sebagai pemegang kedaulatan rakyat, mandans-nya Presiden, yang artinya pemberi kewenangan kepada Presiden, dalam kenyataanya tidaklah demikian. MPR yang seharusnya diharapkan dapat menjadi kekuatan yang membatasi kekuasaan Presiden mengalami mallfungsi, dalam arti, secara kelembagaan memang mungkin namun secara perseorangan keanggotaan MPR sulit diwujudkan. MPR yang komposisinya terdiri dari Anggota DPR, Anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan, menjadi tidak berdaya di bawah Presiden Soeharto karena secara organisatoris berada di bawah Soeharto. Anggota DPR yang komposisinya sebagian besar dari Golkar maupun Fraksi ABRI secara person to person harus tunduk pada komando pimpinan, yang kebetulan juga tampuk pimpinannya di jabat oleh Presiden Soeharto
[5]. Ditambah lagi Anggota dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang tidak dipilih tapi diangkat oleh Presiden atas usul daerah. Tentu sangat sulit pengawan dapat menyentuh Mandataris MPR, Presiden. Jadilah kekuasaan Presiden menjadi seolah-olah absolut. Padahal sebagaimana dalil Lord Acton “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutelly”.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar: ketatanegaraan Indonesia, kedaulatan rakyat, Jaminan perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
• Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI
Penghapusan Dwifungsi ABRI adalah adalah satu pilar utama tuntutan dalam perlawan rakyat terhadap Orde Baru. Menurut Harold Crouch dalam bukunya berjudul Militer dan Politik Indonesia, keterlibatan tentara dalam kancah politik semakin nyata setelah sistem parlementer pada tahun 1957 mengalami kemacetan. Tentara memanfaatkan situasi ini untuk mendorong pengumuman darurat perang. Itu merupakan sebuah langkah setapak demi setapak yang memungkinkan para perwira tentara mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi administrasi, politik, dan ekonomi. Namun, keberadaan Dwi Fungsi ABRI ini lambat laun justru semakin meresahkan masyarakat. Langkah pertama untuk mengatasi masalah besar ini pada tanggal 1 April 1999 Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang ditujukan untuk memisahkan TNI dengan Polri. Selain itu, Habibie juga menghapus seluruh kewenangan TNI dan Polri di luar tugas utamanya. Dengan kata lain dwifungsi ABRI diakhiri. Bertolak dari Keppres itu nama ABRI diubah menjadi TNI dan Polri. Upaya dari Presiden Habibie ini kemudian diperkuat oleh oleh MPR dalam sidangnya tahun 2000 dengan mengeluarkan suatu ketetapan, yaitu Tap MPR No VI/2000 tentang pemisahan Polisi dari TNI dan Tap No VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polisi. Sebagai konsekuensi penghapusan Dwi Fungsi ABRI, awal 1999, Panglima TNI memerintahkan 4.000 perwira militer aktif yang saat itu menduduki jabatan di tubuh pemerintahan sipil di tingkat pusat dan daerah untuk kembali ke barak atau memilih pensiun dini jika masih berkeinginan memegang jabatan sipil tersebut.
[6]
• Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN
Isu ini menjadi amat penting karena menyangkut kepentingan dalam negeri dan aspek hubungan internasional. Tuntutan penegakan hukum bagi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme ini dilatar belakangi karena begitu kuat dan mengakarnya KKN di Indonesia. Tidak hanya pada lini pusat saja, melainkan sudah menggerogoti sampai pada satuan terkecil pemerintahan. Tentu saja kondisi ini semakin memperparah ketahanan bangsa ini dari aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Sistem perekrutan pejabat, pegawai atau jabatan apapun di pemerintahan yang dilandaskan pada prinsip kronisme tak ayal menjadikan aparatur pemerintahan tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Akhirnya rakyatlah yang lagi-lagi dikorbankan akibat dari buruknya pelayanan di berbagai sektor publik. Sebagai tindak lanjut amanat reformasi kemudian diterbitkanlah UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta satu paket dengan UU tersebut diundangkan juga UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penegakan Hak Asasi Manusia juga menjadi permaslahan yang amat penting untuk ditegakkan. Tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM baik yang berat maupun ringan yang telah dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan negara. Namun demikian yang menjadi sorotan asing misalnya pelaksanaan DOM di Aceh, Irian Jaya, TIM TIM dan penculikan dan penahanan aktivis-aktivis kampus dan prodemokrasi mendapat tanggapan yang sangat serius dari komunitas internasional. Dari itu semua salah satu sanksi yang diterima Indonesia adalah adanya embargo senjata dari Amerika Serikat. Dari kondisi diatas, guna memberikan jaminan dan perlindungan HAM bagi warga negara khususnya, di undangkanlah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• Otonomi Daerah
Ketimpangan ekonomi dan pembangunan antara daerah satu dengan yang lainya mewarnai pembangunan mas orde baru. Pemerataan pembangunan menjadi amsalah besar bagi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Ditambah lagi dengan ketiadaan kewenagan daerah dalam melaksanakan otonominya. Hal ini terjadi karena subtansi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah bukanlah UU Otonomi. Penamaan UU dengan diksi ”Pemerintahan di Daerah” menunjukkan sebenarnya yang hendak diatur bukanlah otonomi daerah, melainkan pengeturan pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat di daerah.
Sesuai dengan amanat reformasi, maka ditetapkanlah TAP MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik Hukum TAP MPR tersebut bertujuan hendak mewujudkan penyelenggaraan Otonomi Daerah yang dilaksanakan dengan memberikan kewenanganyang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Dengan amanat TAP MPR diatas, maka pada bulan Mei 1999 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan satu paket dengan UU Pemda diatas diterbitkan juga UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
• Kebebasan Pers
Salah satu dosa besar orde baru kepada rakyat dan konstitusi adalah ditekannya kebebasan pers. Kebebasan berbicara dan menyampaiakan pendapat yang seharusnya terlembagakan dalam suatu negara demokrasi dikikis dan hanya diberikan sedikit ruang bergerak oleh rezim orba. Dengan alasan guna mewujudkan stabilitas politik, dipilihlah kebijakan tidak bersahabat terhadap media massa. Tercatat Panji Masyarakat, Tempo dan media-madia lainnya menjadi korban kebijakan represif pemerintah ini. Kondisi ini sesungguhnya kontra produktif, dalam tataran pemikiran perwujudan nilai-nilai demokrasi dan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan bukan dalam perspektif kepentingan penguasa. Kebebasan pers yang bertanggung jawab justru akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan. Amanat reformasi tesebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pers.
• Mewujudkan kehidupan demokrasi
Salah satu perwujudan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan negara adalah terlembagakannya pemlihan umum yang bebas dan jurdil. Sejarah mencatat bahwa Pemilu tahun 1955 adalah Pemilihan Umum yang paling demokrastis setidaknya sampai dengan Pemilu tahun 1999. Namun kesuksesan tersebut berbalik seratus sembilan puluh derajat. Pemilu Tahun 1971 mengalami degradasi secara kualitas, berikut juga pemilu-pemilu selanjutnya pada masa orba. Terjadi banyak sekali pelanggran prinsip-prinsip Demokrasi, Prinsip pemilihan umum yang baik, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemaksaan fusi partai-partai peserta pemilu 1977 hanya menjadi 2 partai (PDI dan PPP) menjadi bukti pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kronisnya lagi adalah, pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan umum dilakukan secara sistemik oleh pemerintah sendiri. Disemua lini pemerintahan mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai dengan tingkat desa terlibat dalam pelanggaran asas tersebut. Pelanggaran juga terjadi secara komando dan terencana dari setiap lini jabatatan-jabatan politik yang hampir seratus persen dikuasai oleh Golongan Karya. Itulah mengapa pelanggaran pemilu tersebut dilakukan secara sistemik.
Langkah pertama sebagai tindak lanjut dari perwujudan demokratisasi, khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum adalah dengan pembentukan panitia pemilihan yang sifatnya tetap, mandiri dan bebas dari campur tangan dari pihak manapun dan badan pengawas yang mandiri pula. Jika sebelum tahun 1999 penyelenggara pemilu adalah pemerintah, maka pada tahun 1999 penyelenggaraan pemul dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat mandiri dan independen. Peserta pemilihan umum ini juga diikuti oleh banyak paertai politik.

C. Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Implikasinya Cita Negara Hukum Indonesia
Tidak perlu diperdebatkan lagi apakah Indonesia tergolong sebagai negara hukum atau tidak. Dalam berbagai fase kesejarahan, baik Indonesia di bawah UUD 45 Proklamasi, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, kembali lagi ke UUD 1945 (UUD Dekrit Presiden 5 Juli 1959), sampai pada UUD NRI Perubahan I-IV juga tidak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun untuk mengelaborasi lebih dalam, bahwasanya Indonesia adalah negara hukum, maka tentu saja harus diketahui pula kajian teoritik mengenai konsep negara hukum yang tentu saja telah lahir sebelum Indonesia diproklmirkan.
· Konsep Teoritik Negara Hukum
Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Sebagai sebuah embrio, gagasan mengenai Negara Hukum telah muncul sejak masa Plato dan Aristoteles. Para filusuf tersebut masih mendefinisikan negara hukum dikaitkan dengan negara kota (polis). Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk sedikit. Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan muyarawarah (eclesia), dimana seluruh warga negeranya ikut serta dalam urusan negara.
[7]
Pemikiran manusia tentang negara hukum mulai berkembang sejak abad XIX s.d abad XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum (Hestu Cipto, 2003; 12). Teori kedaulatan hukum menghendaki agar kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, hukum sebagai panglima dan hukum sebagai Rule of the Game. Oleh sebab itu setiap aktivitas penguasa (pemerintah/alat perlengkapan negara) termasuk warga negaranya harus tunduk dan patuh pada aturan hukum (asas legalitas).
Dalam sejarah ketatanegaraan selanjutnya dikenal adanya negara hukum dalam arti sempit atau lebih dikenal dengan negara hukum liberal sebagaimana ajaran Imanuel Kant & Fichte. Konsep negara hukum yang mereka ajarkan dikenal dengan konsep negara hukum liberal, konsep mana sangat dipengaruhi oleh faham liberalisme. Konsep negara hukum liberal merupakan anti thesis dari tipe negara polizei. Dalam negara polizei kekuasaan raja amat sangat besar dalam menentukan dan mengembangkan kesejahteraan rakyatnya, sedangkan dalam ajaran negara hukum liberal, peran negara justru diminimalisir dari campur tangan urusan rakyatnya. Dalam negara hukum liberal dikenal dua unsur saja, yaitu: 1) perlindungan terhadap HAM, 2) pemisahan kekuasaan.
Unsur-unsur negara hukum liberal kemudian dikembangkan oleh F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878). Modifikasi negara hukum baru ini lebih dikenak dengan nama Negara hukum formal, yaitu bahwasanya suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu :
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.

Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right).

· Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Amandemen UUD 45
Sistem pemerintahan Indonesia sebelum Amandemen UUD 45 tertuang dalam penjelasan UUD 1945, yang lebih dikenal dengan 7 (tujuh) kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia, yaitu:
· Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat);
· Sistem Konstitusional;
· Kekuasaan tertinggi di tangan MPR;
· Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.;
· Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;
· Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR;
· Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, meskipun tidak murni. Dikatakan tidak murni karena terdapat perbedaan secara teoritik antara sistem pemerintahan presidensiil murni yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan sistem presidensiil yang dikehendaki oleh UUD 45 sebelum Amandemen. Secara teoritik sistem presidensiil memeilki ciri sebagai berikut:
o Presiden adalah Kepala Negara & Kepala Pemerintahan;
o Presiden & Parlemen dipilih langsung oleh rakyat;
o Kedudukan Presiden & Parlemen sama kuat, sehingga Presiden tidak dapat membubarkan Parlemen, dan begitu juga sebaliknya, Parlemen tidak dapat menjatuhkan pemerintahan.
o Presiden mengangkat & memberhentikan menteri-menteri, dan karena itu menteri-menteri bertanggung jawab pada Presiden;
o Adanya prosedur Impeachment bagi Presiden, akan tetapi harus melalui prosedur pengadilan (pengadilan konstitusi) terlebih dahulu.
Dalam pada itu juga terdapat kekacauan secara teoritis dalam pelembagaan sistem pemisahan kekuasaan dalam negera sebagai salah satu pilar pokok dalam negara hukum. Memang gagasan-gagasan trias politika nampak sekali dalam batang tubuh (pasal-pasal) UUD 45. Dalam negara hukum, pemencaran kekuasaan politik negara adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Prinsip-prinsip negara hukum menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam negara melalui hukum. Karena pada prinsipnya yang memerintah bukanlah manusia, melainkan hukumlah yang memimpin. Kekacauan teoritis ini terjadi karena prinsip limitation of power yang dianut menurut UUD 45 adalah sistem pembagian kekuasaan vertikal. Dalam ajaran pembagian kekuasaan, ditekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaganya. Konsep pembagian kekuasaan kekuasaan didasarkan pada pemikiran bahwa hanya fungsi pokok masing-masing pemegang kekuasaan yang dibedakan.
Pasal 5 UUD 1945 menunjukan bahwa pemegang kekuasaan legilatif di Indonesia bukanlah DPR, melainkan Presiden. Konstruksi Pasal yang demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran tris politika, mengapa, karena trias politika menghendaki agar kekuasaan eksekutif dan legislatif dipisahkan, sedangkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen kedua poros kekuasaan tersebut berada ditangan Presiden. Bagaimana dengan kedudukan DPR ?. Undang-Undang Dasar 45 hanya menegaskan bahwa pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama, antara pemerintah dan DPR.
Disisi lain, ajaran pembagian kekuasaan di Indonesia juga dapat ditunjukkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 45 (sebelum amandemen). Pasal tersebut berbunyi “kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini menunjukkan, bahwasanya, secara teoritis, semua kekuasaan negara berada ditangan MPR, kemudian kekuasaan tersebut dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara sesuai UUD 1945.
Menurut Moch Kusnardi, dengan mendasarkan pada UUD 1945, paling tidak terdapat tiga alasan mengapa system pemerintahan di Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan,yaitu :
[8]
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.
· Penguatan Prinsip-Prinsip Negara Hukum Pasca Amandemen UUD 45
Amandemen UUD 45 merupakan salah satu agenda reformasi yang paling mendapat prioritas untuk diselesaikan guna mewujudkan pemerintahan yang berlandaskan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrastis secara kuat. Ditengarai, singkatnya dan kilatnya
[9] penyusunan UUD 45 telah memberikan celah dan kesempatan terhadap penyelengara negara guna mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan UUD tersebut yang mendorong dan melatarbelakangi perlunya Amandemen UUD dapat diuraikan sebagai berikut:
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
[10]
• Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden (executive heavy)
• Pasal-pasal multitafsir
• Praktek ketatanegaraan tidak sesuai dengan jiwa Pembukaan UUD 1945
Berangkat dari pemikiran perubahan UUD diatas, maka artikel ini mencoba mengelaborasi bagaimana penguatan prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD 45 Amandemen.
Pemikiran manusia tentang negara hukum mulai berkembang sejak abad XIX s.d abad XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum
[11]. Teori kedaulatan hukum menghendaki agar kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, hukum sebagai panglima dan hukum sebagai Rule of the Game. Oleh sebab itu setiap aktivitas penguasa (pemerintah/alat perlengkapan negara) termasuk warga negaranya harus tunduk dan patuh pada aturan hukum (asas legalitas).
Konsepsi-konsepsi negara hukum yang sejak berabad-abad lalu telah digagas oleh Kant dengan negara hukum liberalnya, Sthal dengan Rectsstaat-nya, Dicey dengan Rule of Law-nya ataupun pergeseran konsepsi lebih lanjut menjadi negara hukum materiil yang berprinsipkan Welfare Rechtsstaat tidak dapat disangkal telah masuk dan menjiwai UUD, baik sebelum amandemen maupun sesudah amandemen, tentu saja dengan tetap hadirnya wajah jiwa Pancasila di dalamnya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa setelah amandemen UUD 45 prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD NRI 1945 lebih dikuatkan dengan berpedoman pada konsep-konsep teoritis dan komparasi pada negara-negara hukum yang berlaku di negara-negara Barat. Dengan kata lain sebelum amandemen terhadap UUD 45, sebagaimana telah diuraikan di depan, meskipun tidak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi masih terdapat ketentuan-ketentuan dalam UUD yang tidak mendukung bagi terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan prinsip negara hukum.
Jimly Assidiqie menyatakan bahwa terdapat 12 prinsip pokok negara hukum di zaman sekarang. Kedua belas prinsip tersebut menjadi penyokong bagi tegaknya negara hukum. Kedua belas prinsip tersebut adalah: 1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law), 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), 3) Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), 4) Asas Legalitas (Due Process of Law), 5) Organ-Organ Eksekutif Independen, 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, 7) Peradilan Tata Usaha Negara, 8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia, 10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), 11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), 12) Transparansi dan Kontrol Sosial.
[12]
Untuk mengetahui apakah suatu negara termasuk tipe negara hukum atau bukan, perlu diselidiki apakah di dalam konstitusi/UUD negara tersebut tercantum penegasan baik secara eksplisit ataupun secara implisit bahwa negara tersebut menyatakan dirinya sebagai negara hukum atau bukan. Disamping itu perlu diselidiki juga apakah di dalam kostitusi/UUD tersebut atau peraturan perundang-undangan lainnya termuat mengenai ciri-ciri atau unsur-unsur yang penting bagi sebuah negara hukum[13]. Dengan berpegang pada konsep negara hukum mutakhir sebagaimana dikemukakanoleh Jimly diatas, maka akan ditelaah apakah dalam UUD terdapat prinsip-prinsip tersebut, sehingga dapat diketahui sejauhmana konsep negara hukum pasca amandemen UUD 45 telah terlembagakan secara kuat dalam sistem hukum indonesia.
Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
[14]
Dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) secara tegas dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketantuan dalam pasal tersebut hendak menegaskan bahwa terdapat dua prinsip kedaulatan, yaitu kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Kedua prinsip kedaulatan tersebut dikonsepsikan secara yuridis agar dapat dijalankan secara sinergis. Penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara yang berprinsipkan kedaulatan rakyat mengandung makna bahwa kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan, dan negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), tetapi berdasarkan atas hukum atau rechtsstaat.
[15] Supremasi konstitusi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dijalankan oleh organ-organ negara yang dalam pelaksanaan tugasnya diatur dan dibatasi konstitusi/UUD.
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Dalam negara hukum, maka setiap warga negaranya mendapatkan jaminan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, tanpa membedakan ras, golongan, agama, ideologi, ataupun yang lainnya. Prinsip perlindungan persamaan didepan hukum oleh negara juga berlaku bagi setiap orang selain warga negara. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.
[16]
Dalam pada itu ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia juga ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1), yaitu:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Pembatasan Kekuasaan (limitation of power)
Setiap kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk menyeleweng dan menindas, kekuasaan yang tidak terbatas akan dapat menimbulkan penyelewengan yang maha dhasyat, oleh karena itu kekuasaan negara perlu dibatasi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan tersebut diharapkan setiap potensi kesewenang-wenangan suatu kekuasaan tidak akan menjadikan tiran baik terhadap rakyat maupun dalam hubungannya dengan poros-poros kekuasaan lainnya. Pentingnya pembatasan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan di Eropa, yang dikemudian hari dikenal sebagai teori trias politika. Dalam teori pemisahan kekuasaan trias politica, masing-masing organ atau kekuasaan negara harus dipisah, karena memusatkan lebih dari fungsi pada satu orang atau organ pemerintah akan membahayakan kebebasan warga negara. Sebagian besar negara-negara didunia telah mengadopsi teori ini, namun tentu saja dengan corak dan modifikasi yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing negara. Modifikasi ini antara lain terlihat dengan adanya ajaran pembagian kekuasaan dan ajaran check and balances.
Setelah amandemen UUD 45 I-IV dapat dikatakan, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengdopsi prinsip-prinsip separation of power dan check and balances. Praktek pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances di Indonesia dapat dilihat dari uraian berikut:
[17]
a) Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah;
b) Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah;
c) DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU (khusus sesuai kewenangannya), meskipun fungsi bikameralisme yang diemban DPD masih dilemahkan oleh UU SUSDUK;
d) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan;
e) Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU;
f) DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan;
g) Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.
h) Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi;
i) Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 45 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan;
j) Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu),
k) dan lain sebagainya.

Asas Legalitas (Due Process of Law)
Asas legalitas sebagai prinsip negara hukum mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah (dalam arti yang luas) harus didasarkan atas hukum. Asas legalitas menghendaki agar setiap tindakan pemerintah didasarkan pada aturan hukum yang telah ada/berlaku sebelum tindakan tersebut dilaksanakan. Aplikasi asas ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam KUHAP, KUHP, UU PTUN, dan lain sebagainya. Dalam Pasal 28I ayat (1) juga ditegaskan bahwa:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Organ-Organ Eksekutif Independen
Dalam rangka menegakkan prinsip pembatasan kekuasaan di Indonesia saat ini dikembangan pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, misalnya Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, dan lain-lain. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa guna melangengkan kekuasaan, misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, KPU dapat diintervensi guna mengatur hasil Pemilu, dll.
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Prinsip independen dan impartial dalam lembaga peradilan mutlak harus ada pada setiap Negara Hukum. Dalam aspek objektifitasnya (impartial) hakim tidak boleh terpengaruh oleh siapapun dan kepentingan siapapun, kecuali kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dari segi independensinya, hakim harus dijamin kebebasannya dari pihak manapun, terlebih dari pihak penguasa. Isyatar-isarat ini tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.*** )”
Peradilan Tata Usaha Negara
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari perbuatan administrasi negara yang dirasa merugikan. Harus terdapat mekanisme kontrol peradilan terhadap segala tindakan penguasa yang memiliki kecenderungan untuk berbuat sewenang-wenang. Artinya, keberadaan Peraditan TUN selalu dikaitkan oleh adanya sengketa TUN sebelumnya. Dalam pada itu, eksistensi Peradilan TUN telah sejak tahun 1986 dijamin oleh UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang kemudian dikukuhkan dalam konstitusi Pasal 24 ayat (2), menyangkut lingkungan peradilan di Indonesia.
Peradilan Tata Negara
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara, guna menjamin tegaknya/supremasi konstitusi diperlukan juga adanya Peradilan Tata Negara yang diharapkan dapat memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara dan tegaknya supremasi konstitusi. Pentingnya Peradilan Tata Negara yang di Indonesia terlembagakan dalam Mahkamah Kostitusi menjadi amat penting guna mendukung berjalannya prinsip check and balances. Dalam pada itu Pasal 24C UUD memberikan kewenangan-kewenangan pada MK, yang kemudian di jabarkan lebih lanjut dalam UU tentang MahkamahKonstitusi.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
Indonesia sebagai negara hukum memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia maupun hak-hak warga negara sebagaimana terurai dalam konstitusi mapun peraturan perundang-undangan lainnya. Sebelum amandemen UUD 45 khususnya sebelum reformasi, kebijakan formulasi maupun implementasi jaminan perlindungan HAM kurang mendapat tempat dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya, meskipun demikian jaminan perlindungan Hak-Hak Warga Negara lebih mendapatkan tempat, hal ini tidak lain karena Politik Hukum perlindungan HAM saat perumusan UUD 45 belum mendapatkan perhatian, bahkan cenderung ditinggalkan karena HAM dianggap berlandaskan prinsip individualisme barat, sementara Indonesia menurut pandangan founding fathers berfaham kekeluargaan dan kegotongroyongan;
Setelah era refomasi bergulir, Politik Hukum Jaminan Perlindungan HAM mulai mendapat tempat dalam Sistem Hukum Indonesia. Hal ini nampak dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, TAP yang merupakan sumber hukum formal setelah konstitusi. TAP MPR tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No.39 Tahun 1999, UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
Perwujudan negara demokrasi dan pemerintahan yang demokrastis berakar pada teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat menghendaki agar kekuasaan dalam negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan. Jaminan pelaksanaan Pemilihan Umum yang JURDI dan LUBER merupakan syarat utama guna mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Dalam artian yang lain, negara yang melembagakan prinsip-prinsip demokrasi memberikan jaminan dan mendorong peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah perwujudan kemauan rakyat melalui wakil-wakilnya yang legitimet.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka dapat kita temukan dalam Pasal-Pasal UUD 45, bagaimana prinsip-prinsip negara demokrasi telah terlembagakan dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (1), jo Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 22E, Pasal 27, Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 dan tentu saja berbagai peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Negara Hukum Kesejahteraan
Konsep negara hukum kesejahteraan tidak hanya sebagai pencipta hukum dan penjaga ketertiban, melainkan sudah mulai ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum warga negaranya. Dalam istilah Lamaire, negara diproyeksikan sebagai penyelenggara kesejahteraan umum (Bestuurszorg) negara yang dulunya hanya sebagai penjaga ketertiban dan pelaksana Undang-Undang, berubah fungsinya menjadi penyelenggara kesejahteraan umum. Perkembangan negara hukum baru ini disebut sebagai Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Kesejahteraan (Welfare State). Dalam konteks negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka kita dapat temukan dasar hukumnya dalam Pembukaan, Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, maupun pasal-pasal lainnya.
Transparansi dan Kontrol Sosial
Transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.
[18] Adanya kontrol sosial dalam pemerintahan merupakan perwujudan dari kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang merupakan kekuatan ekstra parlementer, guna mendukung, melengkapi kinerja parlemen yang barangkali tidak merepresentasikan kehendak rakyat.





D. Penutup
· Salah satu agenda reformasi adalah tuntutan untuk mengamandemen UUD 45 yang dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman telah membawa pergeseran yang cukup signifikan dalam memberi warna baru terhadap penguatan prinsip negara hukum Indonesia;
· Akan tetapi dapat dikatakan bahwa setelah amandemen UUD 45 prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD NRI 1945 lebih dikuatkan dengan berpedoman pada konsep-konsep teoritis dan komparasi pada negara-negara hukum yang dianut oleh negara-negara hukum di dunia.
· Dalam UUD NRI Tahun 1945 (Amandemen) telah terkandung prinsip-prinsip negara hukum masa kini, yang pada intinya prinsip-prinsip negara hukum mutakhir telah terserap dalam sistem hukum nasional., prinsip-prinsip tersebut adalah adanya: 1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law), 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), 3) Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), 4) Asas Legalitas (Due Process of Law), 5) Organ-Organ Eksekutif Independen, 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, 7) Peradilan Tata Usaha Negara, 8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia, 10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), 11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), 12) Transparansi dan Kontrol Sosial











DAFTAR PUSTAKA

Jimly A, Membangu Budaya Sadar Berkonstitusi, Artikel disampaikan pada acara Seminar“Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, Jakarta, 8 Juli 2008

-----,2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta,

Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press

Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, 2004, Bayu Media, Malang

MPR RI, Bahan Sosialisasi Putusan MPR RI terhadap UUD 1945, diterbitkan oleh Setjen dan Kepaniteraan MPR RI tahun 2003

Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press1988

http://heryabduh.wordpress.com/2009/03/04/politik-hukum-judicial-review-sebuah-T injauan-singkat-terhadap-undang-undang-nomor-24-tahun-2003-tentang-mahkamah-konstitusi/
[1] Nabi Muhammad membawa angin revolusi dari kondisi masyarakat arab jahiliah, kesukuan, berperadaban rendah menuju masyarakat yang berperadaban setingkat lebih maju, hidup secara komunitas dalam sebuah negara khilafah (praktek selanjutnya lebih mendekati teori negara republik)..
[2] Nonet dan Selznik mengkategorikan hokum kedalam tiga tipe, yaitu: hokum represif, hokum otonom dan hokum responsive.
[3] Agenda reformasi 98 di kutip dari Bahan Sosialisasi Putusan MPR RI terhadap UUD 1945, diterbitkan oleh Setjen dan Kepaniteraan MPR RI tahun 2003.
[4] Jimly A, Membangu Budaya Sadar Berkonstitusi, Artikel disampaikan pada acara Seminar“Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, Jakarta, 8 Juli 2008
[5] Mantan Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, posisi paling senior dalam Partai, Ia juga Panglima Besar ABRI, dan secara garis komando militer ”bawahan harus mengikuti perintah komandan”.
[6] Tuti Herlina, artikel Dikuti dari :http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2616
[7] Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press1988; 153).
[8] Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press, 1988; hal. 181
[9] Soekarno mengatakan UUD 45 adalah UUD kilat
[10] kekacauannya dapat dilihat pada bahasan mengenai Amandemen UUD 45
[11] Hestu B. Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal. 12.
[12] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 154-161
[13] Joeniarto dalam Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, 2004, Bayu Media, Malang, hal. 83
[14] Opcit. Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 154
[15] Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, hal.6
[16] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 155
[17] http://heryabduh.wordpress.com/2009/03/04/politik-hukum-judicial-review-sebuah-tinjauan-singkat-terhadap-undang-undang-nomor-24-tahun-2003-tentang-mahkamah-konstitusi/
[18] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 161

Tidak ada komentar: