Sabtu, 07 Maret 2009

POTRET PERADILAN ADMINISTRASI INDONESIA

A.Pendahuluan
Pemikiran manusia tentang negara hukum berkembang dalam berbagai situasi sejarah peradaban manusia. Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa, faham filsafat dan ideologi politik suatu negara.
Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila, bertujuan mencapai masyarakat yang adil, makmur dan merata, baik materill maupun spirituil. Negara Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat saja, akan tetapi lebih luas dari pada itu. Negara berkewajiban turut serta dalam hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan masyarakat. Konsep negara hukum yang diadopsi oleh negara hukum Pancasila (Indonesia) adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ajaran negara hukum inilah yang kini dianut oleh sebagian besar negara-negara didunia. Konsep negara hukum muncul sebagai reaksi atas konsep negara legal state atau konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaats). Konsep negara ini memberikan batasan turut campurnya negara dalam bidang poltik, ekonomi dan sosial, sehinga oleh karenanya pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dalam menjalankan fungsi pemerintahannya (executive functions). Ciri utama dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) adalah kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya (Ridwan H.R, 2003: 11).
Turut sertanya pemerintah dalam hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan itu telah ditetapkan sebagai tujuan negara Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut : ….“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Salah satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. Dalam kepustakaan ilmu negara, asal usul kekuasaan selalu dihubungkan dengan kedaulatan (souvereignity atau souvereigniteit). Kedaulatan merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal dan tidak berada dibawah kekuasaan lain (S.F. Marbun, 2003: 1).
Dalam kepustakaan ilmu negara terdapat beberapa teori tentang kedaulatan, antara lain, teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan rakyat, teori kedaulatan negara dan teori kedaulatan hukum. Indonesia sendiri mengadopsi dua teori kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan ketiga) Pasal 1 ayat (2), yang berbunyi “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan dalam Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan. Sedangkan menurut teori kedaulatan hukum, negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), tetapi berdasarkan atas hukum atau rechtsstaat (S.F. Marbun, 2003: 6).
Negara hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah hukum yang demokratis yang didasarkan atas kehendak rakyat sesuai kesadaran hukum rakyat, sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap hukum, yaitu keadilan (S.F. Marbun, 2003: 6).
Negara hukum dan kedaulatan hukum ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak terpisahkan. Suatu negara belum dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara tersebut tidak memiliki kedaulatan hukum. Dalam konsep rechtsstaat, hukum adalah panglima tertinggi.
Sjahran Basah berpendapat, ….arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya yaitu kedaulatan hukum. Disamping itu para pendiri negara dalam membentuk pemerintahan negara Indonesia telah menentukan pilar lainnya, yaitu kedaulatan rakyat. Hal yang demikian mewujudkan perpaduan integral antara paham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Kemudian hal tersebut dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara negara hukum pada satu pihak dan negara kekuasaan di pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktatur atau bentuk lainnya semacam itu, yang tidak dikehendaki dilaksanakan di persada pertiwi ini (Sjachran Basah, 1992: 1).
Sebagai negara yang berlandaskan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat), maka setiap tindakan negara harus berdasarkan atas hukum. Termasuk dalam pengertian negara adalah pemerintahanya, lembaga-lembaganya (baik Departemen maupun Instansi) dan aparatur negaranya yang didalam melaksanakan tugasnya harus selalu berlandaskan kepada hukum dalam arti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berlaku.
Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwasanya Indonesia adalah negara hukum kesejahteraan atau negara hukum dalam arti materiil (welfare state), sehingga oleh karenanya negara atau pemerintahnya berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Berkenaan dengan kewajiban tersebut pemerintah memiliki kewenangan yang relatif besar untuk memasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Beranekaragamnya masalah dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warganya memberikan suatu kewenangan khusus yang hanya dimiliki oleh pemerintah, yaitu Freies Ermessen atau Discretionaire. Freies Ermessen adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah penting yang mendesak yang datang secara tiba-tiba dimana belum ada peraturannya (S.F. Marbun, 2003: 9).
Konsekuensi yang logis dari negara kesejahteraan adalah bahwasanya Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memiliki wewenang eksekutif yang luas dan bahkan memiliki aparat-aparat kekuasaan umum yang bilamana perlu dapat melaksanakan kehendaknya terhadap barang siapa yang membangkang atau merongrong kebijaksanaan pemerintah, demi tercapainya tujuan Negara (Hadin Muhjad, 1985: 12).
Melihat pendapat Hadin Muhjat diatas dapat kita lihat betapa besarnya kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah, sedangkan organ pelaksana pemerintahan sendiri adalah juga manusia biasa yang sesuai dengan sifat alaminya, bisa berbuat salah, lupa, alpa, ataupun kemungkinan untuk cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Seorang bangsawan Inggris, Lord Acton, pernah melukiskan tentang kecenderungan pemerintah untuk berbuat korup, yaitu “power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely” (kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk korup, kekuasaan yang absolut mempunyai kecenderungan untuk korup secara absolut). Oleh karaena itu tidak jarang tindakan Pemerintah yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian bagi rakyat (orang atau badan hukum), minimal tindakan tersebut tidak menyenangkan.
Guna menegakkan hukum, serta mememperoleh pemerintahan yang bersih dan berwibawa (the clean and strong government), maka diperlukan badan peradilan yang bertugas mengawasi segala tindakan pemerintah yang merugikan rakyat, atau dengan kata lain diperlukan adanya suatu badan peradilan tata usaha guna menegakkan hukum administrasi materiil.
Hukum Administrasi Negara sebagai pisau analisa yuridis Hakim TUN dan sekaligus sebagai landasan kerja bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang mengemban kewajiban dalam melaksanakan public service harus berperan aktif, sehingga peranan politik hokum menjadi sangat penting dalam memilih hokum yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai politik hokum, tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan hukumnya. Dalam pembangunan hokum, menurut Jhon Henry (dalam Abdul Hakim G Nusantara, 1988; 27-28) dapat didekati dari model strategi pembangunan hokum yang dipilih, yang dibedakan dalam stretegi yang ortodok yang mengutamakan peranan Negara/parlemen dengan produk perundang-undangan, dan model responsive yang mengutamakan peran peradilan yang berarti besarnya partisipasi masyarakat.
Lahirnya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya adalah untuk mewujudkan Negara hokum, yang dalam hal ini adalah Negara hokum Pancasila. Sebagai Negara kesejahteraan, maka pelembagaan peradilan tata usaha Negara adalah hal yang sangat wajar, bahkan memilki urgensi yang tinggi. Apalagi jika mengutip pendapat F.J Stahl tentang unsur-unsur negara hukum, maka keberadaan Badan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia adalah mutlak adanya.

B.Konsep Negara Hukum dan Relevansinya Dengan Pembentukan Peradilan Administrasi
Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu:
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.
Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right)
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas hokum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat.
Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan (S.F Marbun, 8; 2003). Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis perkara lain (Riawan Tjandra, 3: 2005).
Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah-masalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire). Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundang-undangan, antara lain : 1). Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU, 2). Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan dibawah UU, dan 3). Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.
Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi terjadinya de’tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur (perbuatan sewenang-wenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun (10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).
Akibat diberikannya kekuasaan yang besar kepada negara untuk mengurus negara dan mensejahterakan warga negaranya, warga negara membutuhkan adanya jaminan perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, dibutuhkan satu media atau institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat, untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hokum moderen dewasa ini , salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen, secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Proses-proses peradilan dari mulai masuknya suatu perkara, hingga pelaksanaan putusan , sering dianggap sebagai indikator serta bukti berjalannya hukum di suatu negara. Salah satu lembaga peradilan di Indonesia, adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). PTUN ini mendapat tugas khusus, yakni sebagai salah satu badan peradilan, yang memberi akses keadilan bagi pencari keadilan di bidang tata usaha negara. PTUN lahir berdasarkan UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan baru efektif 5 (lima) tahun kemudian atau tepatnya tahun 1991.
Jika melihat rentetan perjalanan konsep Negara hokum dalam dimensi kesejarahan diatas, maka tepatlah apa yang dinyatakan oleh Sunaryati Hartono dalam Martiman Projohamidjodjo (1993; 11-12), yaitu “urgensi suatu PERATUN tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan intern (penulis lebih sepakat ekstern) terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan harus dipegang teguh oleh) Negara hokum. Akan tetapi, yang benar-benar berfuungsi sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang untuk menilai dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh pejabat eksekutif kita.

C. Politik Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara : Suatu Tinjauan Kesejarahan
Pada masa Hindia Belanda belum terdapat peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut adalah:
1) Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS,
2) Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in Indonesie),
3) Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor Belastingzaken) dan
4) Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak).

Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan).
Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pembentukan PERATUN sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan tekad negara dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia dari tindakan administrasi negara yang dirasa merugikan. Namun demikian, pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara Pancasila memiliki kekhasan yang menunjukkan ciri dari Sistem Hukum Pancasila.


D.Peradilan Tata Usaha Negara dan Negara Hukum Pancasila
Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Konsep negara hukum Pancasila dapat disandingkan dengan konsep negara-negara hukum lain didunia. Konsep negara hukum Pancasila berakar dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menurut Supomo, Negara Hukum Pancasila menganut faham integralistik, sebuah faham yang sangat berbeda dengan faham komunisme dan liberalisme-kapitalisme, Ciri-ciri khusus yang membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
1) Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan;
2) Tidak mengenal sekulerisme mutlak;
3) Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama;
4) HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah & rakyat lebih diutamakan.
5) Demokrasi disusun dalam bingkai permusyawaratan perwakilan.
Menurut Padmo Wahyono, unsur-unsur utama negara hukum pancasila adalah:
1) Hukum harus bersumber pada Pancasila, Pancasila adalah sumber segala sumber hukum;
2) Negara berdasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka;
3) Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional;
4) Equality before the law;
5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka
Kalau ditelaah dari latar belakang sejarahnya, baik konsep rule of law maupun konsep rechtstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenang-wenangan penguasa, sedangkan negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenang-wenangan atau absolutisme. Baik konsep rule of law mapun rechtstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik central, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik central adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. Dalam Negara Hukum Pancasila juga menunjukkan adanya ciri hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, disamping itu juga dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan unsur terakhir (PM Hadjon, 1985;84).
Untuk mengetahui bagaimana Politik Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila terhadap pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di Indonesia, maka perlu untuk mengatahui bagaimana tujuan dan fungsi Peradilan TUN. Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu;
b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).
Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi.
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Negara Hukum Pancasila penyelesaian. Sarana penyelesaian konflik atau sengketa Tata Usaha Negara dikonstruksikan melalui 2 jalur, yaitu jalur upaya administrative yang menekankan upaya permusyawaratan dan perdamaian (di luar pengadilan) dan upaya peradilan yang kedudukannya netral, impartial, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan, keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan rakyat.
Menurut Riawan Tjandra (2005; 2), Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas-luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat (kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat).
Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara (Riawan Tjandra, 2005; 2). Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku.
Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara (Gundnorm).
Bertolak dari pemikiran demikian, maka sesungguhnya Negara Hukum Pancasila hendak mewujudkan perlindungan hokum bagi individu-individu warga negaranya, sekaligus melindungi kepentingan umum. Dibukanya kran kebebsan warga negara sama sekali tidak menghilangkan dimensi kepentingan public yang diwakili oleh nagara. Kepentingan warga negara sebagai individu adalah penting, namun kepentingan public juga tidak kalah pentingnya, dan oleh karenanya juga harus dilindungi oleh hokum. Dengan kata lain, dimensi perlindungan hokum terhadap rakyat sedapat mungkin berjalan secara sinergis antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan public.
E. Penutup
Terdapat hubungan teoritik antara urgensi dan eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan dianutnya asas negara hokum dalam system hokum Indonesia. Kebijakan formulasi atas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia telah melalui lika-liku kesejarahan yang panjang, dimulai dari usaha Wiryono Projodikoro yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara, juga dari amanat Ketetapan MPR, usaha-usaha yang dilakukan oleh LPHN/BPHN dalam rangka penyusunan RUU PTUN, sampai pada amanat UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hingga pada akhirnya pada taun 1986 diterbitkanlah UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang mulai berlaku efektif tahun 1991. Dalam perspektif Negara Hukum Pancasila (secara konseptual), keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara mengandung konsep perlindungan hukum yang mono-dualistik, ialah ide keseimbangan antara perlindungan kepentinga publik sekaligus kepentingan individu warga negara.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Rozali. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

Basah, Sjachran. 1987. Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA). Jakarta: Rajawali Press.

--------. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

Harahap, Zairin. 2002. Hukum Acara peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Indroharto. 1991. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Muchsan. 1991. Peradilan Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.

Muhjad, M. Hadin. 1985. Beberapa Masalah Tentang Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum: Suatu studi tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat Dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah, Prenada Media, Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1988. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta : Liberty.

Prodjohamodjojo, Martiman. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia.


Tjandra, Riawan. 2005. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas Admajaya Yogyakarta.

Utrecht, E. 1986. Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia. Surabaya: Pustaka Tita Mas.

Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam satu naskah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang Nomor 10 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negar).