Senin, 07 September 2009

PERANAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Pendahuluan
Gerakan Reformasi 1998 telah membawa angin perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan pemerintahan yang sentralistis dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah digantikan dengan pemerintahan yang desentralistis. Artinya sejumlah wewenang pemerintahan diserahkan oleh Pemerintah kepada daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan,keamanan dan yustisi yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Prinsip otonomi daerah menekankan pada pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menjadi kewenangannya dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelembagaan Otonomi daerah bukan hanya diartikulasi sebagai a final destination (tujuan akhir), tetapi lebih sebagai mechanism (mekanisme) dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan sendiri oleh daerah otonom. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintahan daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah.
[1]
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, badan perwakilan (local representative body) yang kita kenal dengan nama DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota) memiliki beberapa fungsi dan salah satunya adalah fungsi legislasi sebagai wahana utama untuk merefleksikan aspirasi dan kepentingan rakyat (publik) dalam formulasi peraturan daerah. Salah satu sarana dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan adalah dibentuknya Peraturan Daerah. Dengan kata lain Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Dalam Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7, antara lain mengemukakan: “Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah.
Perubahan konsepsi dalam pengimplementasian fungsi legislasi pada tataran pemerintahan pusat
[2], sekaligus berimbas pada pengimplementasian fungsi legislasi pada tataran pemerintahan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No.5 Tahun 1974 berkaitan dengan legislasi dinyatakan, bahwa: Kewajiban DPRD bersama-sama Kepala Daerah menyusun Peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah. Dalam konteks fungsi legislasi di bawah UU No. 5 Tahun 1974 ada dua catatan penting, yakni; Pertama, peran DPRD dalam membentuk Peraturan Daerah adalah merupakan kewajiban. Kedua, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, sehingga Peraturan Daerah ditanda tangani bersama-sama Kepala daerah dan DPRD[3].
Salah satu fungsi Dewan Perwaklan Rakyat Daerah adalah fungsi legislasi. Fungsi legislasi DPRD yang merupakan fungsi untuk membentuk peraturan daerah bersama Kepala daerah. Dibentuknya peraturan daerah sebagai bahan pengelolaan hukum di tingkat daerah guna mewujudkan kebutuhan-kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan guna melaksanakan pemerintahan daerah serta sebagai yang menampung aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilihat bagaimana peranan fungsi legislasi DPRD dalam pembentukan peraturan daerah.

B. Perumusan Masalah
Berpijak pada uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut, yaitu: “Bagaimanakah peran fungsi legislasi DPRD dalam pembentukan Peraturan Daerah ?

C. Pembahasan
1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah. Sebagai Unsur Lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki tanggung jawab yang sama dengan Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah. DPRD adalah mitra kerja dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Pemerintah Daerah.
Dalam kedudukannya tersebut, DPRD dilengkapi dengan beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Legislasi, yaitu fungsi membentuk Peraturan Daerah yang dilakukan bersama-sama Kepala Daerah.
2. Fungsi Anggaran, yaitu bersama Kepala Daerah menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) tiap tahun.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
Sesuai dengan Pasal 10 UU Susduk DPRD memiliki Tugas dan Wewenang sebagai berikut:
1. Membentuk Peraturan Daerah yang dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Menetapkan APBD bersama Kepala Daerah;
3. Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Kepala Daerah, Pelaksanaan APBD, Kebijakan Kepala Daerah dalam pelaksanaan kerja sama internasional di daerah;
4. Memberi persetujuan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah;
5. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi;
6. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh Undang-undang. Contohnya: melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
Selain tugas dan fungsi kelembagaan DPRD sebagaimana disebutkan diatas, ditentukan pula bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai hak-hak sebagai berikut, antara lain: hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD juga memiliki hak mengajukan Rancangan Perda, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Hak- hak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
[4]
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berhak meminta pertanggungjawaban kepala daerah mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berhak meminta keterangan kepada pemerintah daerah mengenai suatu kebijakan yang ditempuhnya, dan/atau sesuatu keadaan yang terjadi di daerahnya.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berhak mengadakan penyelidikan mengenai terjadinya penyimpangan pelaksanaan peraturan perundang - undangan, atau kebijakan daerah, sehingga menimbulkan kerugian bagi daerah dan/atau masyarakat.
4. Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan usul mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah.
5. Beberapa orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan usul pertanyaan pendapat.
6. Beberapa orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan pra-rancangan peraturan daerah yang mengatur sesuatu urusan daerah, sebagai usul prakarsa (inisiatif).
7. Dalam setiap tahun anggaran, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menentukan anggaran belanja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik penetapan maupun perubahan.
8. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menentukan sendiri peraturan tata tertibnya.
9. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta keterangan kepada pejabat negara, pejabat pemerintahan, warga masyarakat, untuk memberikan keterangan mengenai sesuatu hal perlu ditangani, demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan dan pembangunan.
10. Hak mengajukan pertanyaan mengenai sesuatu permasalahan tertentu disampaikan kepada Pimpinanan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara tertulis, singkat dan jelas disertai nama dan tanda tangan penanya serta fraksinya.

Dalam menjalankan tugasnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai kewajiban yaitu :
[5]
1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menaati segala peraturan perundang - undangan.
2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan pemerintahan daerah.
3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
6. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.
8. Menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah / janji anggota DPRD.
9. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.


2. Peranan Fungsi Legislasi Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
a) Peraturan Daerah sebagai Produk Hukum Legislatif Daerah
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara.
[6] Semua peraturan Perundang-undangan yang normanya menyangkut materi muatan di atas, maka harus dibentuk dengan produk hukum legislatif (legislative act), apakah itu Undang-Undang, ataukah Peraturan Daerah.
Dalam praktek dikenal tiga macam norma hukum yang dibentuk oleh negara. Ketiga norma hukum tersebut adalah :
(1) Produk atau norma hukum yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan;
(2) Produk hukum yang dikategorikan sebagai keputusan atau beschikking (bersifat administratif, konkret, dan individual), pengujian produk hukum ini dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3) Produk hukum yang dibentuk oleh pengadilan (berupa putusan pengadilan, bersifat penghakiman), Pengujian produk hukum ini dilakukan melalui prosedur upaya hukum, baik upaya hukum biasa (Verzet, Banding dan Kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali).
Peraturan perundang-undangan merupakan norma hukum yang bersifat mengatur (regelling) yang keberlakuaanya tidak bersifat individual (berlaku umum). Perturan perundang-undangan juga merupakan norma hukum yang bersifat abstrak, baru kemudian apabila diwujudkan dalam suatu keputusan (beschikking) atau putusan pengadilan (vonnis) akan menjadi norma hukum yang bersifat konkrit.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan terdiri dari: 1). UUD 1945, 2). UU/Perpu, 3). Peraturan Pemerintah, 4). Peraturan Presiden, 5). Peraturan Daerah, yang terdiri dari tiga jenis, yaitu: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa. Ketentuan dalam ayat (1) tentang jenis tersebut masih diperluas dengan ketentuan ayat (4), yang mengakui keberadaan peraturan-peraturan perundang-undangan lain, selain jenis peraturan sebagaimana diuraikan dalam ayat (1), misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan DPRD,dan lain sebagainya.
[7]
Peraturan Daerah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
b) Fungsi Legislasi DPRD Dalam Pembentukan Perda
Fungsi legislasi merupakan fungsi dari parlemen untuk membentuk produk hukum yang berfifat mengatur (regelende functie), ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.
Dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 Tahun 2004, Pembentukan Peraturan Daerah pada dasamya dimulai dari: tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, Perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Kedelapan tahapan tersebut adalah prosedur baku yang harus dilewati oleh setiap Pembentukan Peraturan Daerah. Instrumen perencanaan Perda dilakukan dalam Prolegda yang disusun bersama antara DPRD dan Pemerntah Daerah. Persiapan Raperda dapat berasal dari Pemerintah Daerah atau berasal dari DPRD (hak inisiatif).
Berkaitan dengan kedelapan tahapan tersebut, maka sesungguhnya peranan DPRD dalam menjalankan fungsi legislasinya bertumpu pada tiga pengertian. Tercakup dalam pengertian fungsi legislasi adalah: Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); serta Persetujuan atas pengesahan rancangan peraturan daerah (law enactment approval).
Inisiatif Pembuatan Perda
Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.
Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
Dibukanya peluang yang sama baik bagi Kepala Daerah maupun bagi DPRD untuk berprakarsa dan berinisiatif dalam menyusun rancangan Peraturan Daerah, tidak terlepas dari tujuan otonomi daerah itu sendiri. Dengan prinsip otonomi seluas-luasnya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan dilaur yang menjadi urusan pemerintah pusat. Karena itu pula daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah, yang salah satunya adalah dengan jalan membentuk peraturan daerah.
[8]
Kemudian DPRD sebagai lembaga pemerintahan daerah mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dengan Pemerintah Daerah dan membangun dan mengusahakan dukungan dalam penetapan kebijakan Pemerintahan Daerah yang dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Atas kedudukan dan fungsi yang sama itu, maka baik DPRD maupun Kepala Daerah mempunyai hak yang sama dalam melakukan amandemen terhadap Perda dan memiliki hak yang sama dalam melakukan prakarsa dan inisiatif dalam pengajukan rancangan Perda.
[9]
Pembahasan Perda
Rancangan Peraturan Daerah yang telah memperoleh kesepakatan dilaporkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota oleh Sekretaris Daerah disertai dengan Nota Penyampaian Gubernur atau Bupati/Walikota kepada pimpinan DPRD. Proses pembahasan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD. Sebelum dilakukan pembahasan di DPRD, terlebih dahulu dilakukan penjadwalan oleh Panitia Musyawarah DPRD (PANMUS).
Pembahasan pada lingkup DPRD sangat sarat dengan kepentingan politis masing-masing fraksi. Tim kerja dilembaga legislative dilakukan oleh komisi ( A s/d E) yang menjadi counterpart eksekutif. Proses pembahasan diawali dengan Rapat Paripurna DPRD dengan acara Penjelasan Gubernur atau Bupati/Walikota. Selanjutnya Pandangan Umum Fraksi dalam Rapat Paripurna DPRD. Proses berikutnya adalah pembahasan oleh Komisi, gabungan Komisi, atau Panitia Khusus (PANSUS). Dalam proses pembahasan apabila DPRD memandang perlu dapat dilakukan study banding ke daerah lain yang telah memiliki PERDA yang sama dengan substansi RAPERDA yang sedang dibahas. Dalam hal proses pembahasan telah dianggap cukup, selanjutnya pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPRD yang didahului dengan pendapat akhir Fraksi.
Terdapat dua tahap penting pembahasan draf raperda, yaitu pada lingkup tim teknis eksekutif dan pembahasan bersama dengan DPRD. Pembahasan pada tim teknis, adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada kepentingan eksekutif. Oleh UU Nomor 10 Tahun 2004, diwajibkan bagi pemerintah untuk memberi kesempatan kepada semua masyarakat berpartisipasi aktif baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 53).
Peran Serta Masyarakat
Hal yang baru dan sekaligus sebagai wujud adanya demokratisasi dalam pembentukan hukum yaitu dibukanya ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Secara konstruktif yuridis partisipasi masyararakat dalam pembentukan hokum sebagaimana tertuang dalam Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 yaitu : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertutulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”.
Dibukanya ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembentukan hukum ini bertujuan agar hukum yang dihasilkan tidak represif dan sebaliknya melahirkan hukum yang responsif. Dalam paham Nonet dan Selznick
[10] hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Artinya, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat.
Sebenarnya, apabila suatu Perda yang rancangannya didahului dengan penyusunan naskah akademik, hal itu sesungguhnya telah memberi sebentuk ruang bagi partisipasi masyarakat publik dalam pembentukan Perda tersebut. Ini tentu saja, apabila naskah akademik itu dilakukan menurut prosedur yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan
[11].
Disamping pembuatan naskah akademik, DPRD juga memiliki peran yang amat penting dalam mengfasilitasi aspirasi masyarakat, baik secara idea (tidak langsung) maupun secara langsung melalui rapat dengar pendapat. Disinilah arti penting perwujudan demokratisasi dalam pemerintahan daerah. Responsifitas anggota dewan terhadap aspirasi masyarakat menjadi amat penting guna mengformulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk produk hukum.
Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan hukum diharapkan menjadi kekuatan kontrol (agent of social control) dan kekuatan penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Dengan dianutnya sistem politik yang demokrastis, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum
[12].
Pengesahan dan Penyebarluasan
Proses pembahasan Rancangan Perda pada hakikatnya mengarah pada ikhtiar musyawarah untuk mencapai mufakat. Pembahasan Raperda tidak menyisakan ruang bagi voting, karena memang kedudukan antara Pemerintah Daerah dan DPRD sederajat. Setiap pembahasan Rapreda menghendaki persetujuan bersama, sehingga karena masing-masing pihak memiliki kedudukan yang seimbang, maka tidak mungkin putusan dapat diambil secara voting. Persetujuan bersama menjadi syarat agar suatu Raperda menjadi Perda.
Rancangan PERDA yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai PERDA. Penyampaian rancangan PERDA dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Selanjutnya Rancangan PERDA ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
Dalam hal rancangan PERDA tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama, rancangan PERDA tersebutsah menjadi PERDA dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Rumusan kalimat pengesahan berbunyi: ”Peraturan Daerah ini dinyatakan sah” dengan mencantumkan tanggal sahnya yang dibubuhkan pada halaman terakhir sebelum pengundangan naskah PERDA ke dalam Lembaran Daerah.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan (Peraturan Daerah) harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Selanjutnya Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.

Penutup
DPRD merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur Lembaga Pemerintahan Daerah. Dalam kedudukannya tersebut DPRD dilengkapi dengan tiga fungsi, yaitu: fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi legislasi. Peran DPRD dalam menjalankan fungsi legislasinya bertumpu pada tiga pengertian, yaitu :prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); serta Persetujuan atas pengesahan rancangan peraturan daerah (law enactment approval). Responsifitas anggota dewan terhadap aspirasi masyarakat menjadi amat penting guna mengformulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk produk hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan 1 Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007

Boy Yendra Tamin, SH.MH,
Fungsi Legislasi Dprd Dan Pembentukan Peraturan Daerah, diunduh dari http://boyyendratamin.com/artikel-9-fungsi-legislasi-dprd-dan-pembentukan-peraturan-daerah.html, tanggal 10 Juli 2009.

Jimly Assidiqie, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konpres, Jakarta

Jimly Assidiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konpres, Jakarta

Mulyana W. Kusumah, 1986, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Philippe Nonet & Selzniick, Hukum Responsif, Pilihan di Masa Depan, Huma, Jakarta, 2003.

Soenobo Wirjosoegito. 2004. Proses & Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik

Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang





[1] Boy Yendra Tamin, SH.MH, Fungsi Legislasi Dprd Dan Pembentukan Peraturan Daerah, diunduh dari http://boyyendratamin.com/artikel-9-fungsi-legislasi-dprd-dan-pembentukan-peraturan-daerah.html, tanggal 10 Juli 2009.

[2] Lihat Pasal 5 UUD sebelum dan setelah Perubahan.
[3] Op. cit, hal 2
[4] Soenobo Wirjosoegito. 2004. Proses & Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta : Ghalia Indonesia, Hal.23
[5] Pasal 45 Undang - Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[6] Jimly Assidiqie, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konpres, Jakarta, hal.32
[7] Jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004
[8] Boy Yendra Tamin, SH.MH, Fungsi Legislasi DPRD dan Pembentukan Peraturan Daerah, diunduh dari http://boyyendratamin.com/artikel-9-fungsi-legislasi-dprd-dan-pembentukan-peraturan-daerah.html, tanggal 10 Juli 2009
[9] ibid.
[10] Philippe Nonet & Selzniick, Hukum Responsif, Pilihan di Masa Depan, Huma, Jakarta, 2003, hlm.59-61.
[11] Boy Yendra Tamin, SH.MH, Fungsi Legislasi Dprd Dan Pembentukan Peraturan Daerah, diunduh dari http://boyyendratamin.com/artikel-9-fungsi-legislasi-dprd-dan-pembentukan-peraturan-daerah.html, tanggal 10 Juli 2009
[12] Mulyana W. Kusumah, 1986, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 18.

Jumat, 10 Juli 2009

Gerakan Reformasi 1998 dan Implikasinya Terhadap Pemantapan Cita Negara Hukum Dalam Konstitusi

A. Pendahuluan
Perubahan merupakan keniscayaan yang tak dapat terelakkan. Ia merupakan gejala umum yang terjadi pada semua masyarakat di dunia ini. Tidak ada satupun masyarakat yang benar-benar statis, cepat ataupun lambat dapat dipastikan bahwa suatu masyarakat akan mengalami perubahan, apakah itu perubahan yang lebih baik, atau yang lebih buruk. Barang siapa tidak mengikuti perubahan yang baik, maka mereka akan terlindas oleh roda waktu, karena zaman hanya akan memberikan kesempatan bertahan bagi mereka yang mampu menciptakan perubahan dan mampu menerima perubahan untuk didayagunakan sebagai modal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan/atau bernegara.
Perubahan yang baik telah menjadi bagian kesejarahan umat manusia yang amat mempengaruhi kehidupan manusia, komunitas, masyarakat atau kenegaraan selanjutnya dan menjadi pegangan guna menapaki masa depan. Gerakan hijrah Muhammad
[1], Revolusi Prancis, Revolusi Inggris, atau peristiwa-peristiwa besar lainnya telah mempengaruhi peradaban manusia di masa selanjutnya, meskipun peristiwa itu sendiri telah terjadi berabad-abad lampau. Gerakan-gerakan tersebut telah menjadi sendi bagi penataan peradaban manusia kini.
Fase perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa penting dan menjadi bagian yang tak terelakkan dalam perkembangan bangsa dan negara ini. Mulai dari kehidupan kerajaan-kerajan di wilayah nusantara, fase penjajahan oleh negara-negara barat terhadap kerajaan-kerajaan nusantara, fase bangkitnya kebangsaan/nasionalisme Indonesia, fase menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, era orde lama, era orde baru dan era orde transisi dan reformasi menjadi bagian penting bagi perjalanan bangsa Indonesia ini.
Sejak Mei 1998, Indonesia memasuki fase baru dalam perjalanan sejarahnya sebagai bangsa yang merdeka dan berdulat melalui gerakan rakyat yang dimotori mahasiswa. Adalah gerakan reformasi 1998, sebuah gerakan guna penataan kembali berbagai bidang kehidupan kenegaraan menuju terciptanya civil soceity, masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera. Kebutuhan akan perubahan dan penataan kembali kehidupan kenegaraan tersebut tidak terlepas dari adanya degradasi moral kepemimpinan, kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kegagalan mengatasi krisis dampak ekonomi dan adanya penyelewengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang berdasarkan Pancasila.
Lahirnya gerakan mahasiswa 66 yang dimotori oleh KAMI, HMI dan berbagai elemen gerakan mahasiswa lainnya maupun gerakan reformasi 98 adalah merupakan koreksi atas orde pemerintahan yang sebelumnya berkuasa atas pelaksanaan kekuasaan negara yang dirasakan tidak memenuhi dan tidak mampu mengsejahterakan rakyat sekaligus prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik, bersih dari KKN, dan memenuhi prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Setiap orde pemerintahan memiliki tafsir masing-masing atas nilai-nilai Pancasila yang berbeda satu sama lain, sehingga gerakan reformasi tersebut merupakan manifestasi gerak pemikiran dialektis yang mencoba membongkar pemikiran-pemikiran orde pemerintahan pada masanya. Jika orde lama telah dianggap gagal oleh gerakan mahasiswa angkatan 66 dan orde baru dalam menafsirkan nilia-nilai luhur Pancasila dalam konteks ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, sehingga dianggap terdapat penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 45, maka orde baru pun juga mendapatkan koreksi yang sama oleh gerakan mahasiswa 98.
Dengan kata lain, bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan negara yang dijalankan oleh orde baru dianggap oleh mahasiswa terdapat penyelewengan-penyelewengan yang salah satunya terlihat dalam pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi dan negara hukum. Dari konteks demikian itu kemudian muncul gagasan mengenai agende/tuntutan reformasi 98 yang harus diwujudkan oleh pemerintahan selanjutnya. Tuntutan/agenda tersebut yang telah di tindak lanjuti oleh lembaga legislatif dan eksekutif membawa dampak yang amat besar dalam pelembagaan negara hukum yang demokratis. Berbgai tindakan guna mewujudkan agenda tersebut nampak dalam amandemen UUD, revisi maupun perubahan UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, pembentukan lembaga-lembaga negara baru, reformasi birokrasi dan berbagai usaha lainya.

B. Agenda Reformasi : Sebuah Kritik Atas Kegagalan Orde Baru.
Gerakan Reformasi Tahun 1998 yang di gerakkan oleh mahasiswa memiliki beberapa agenda guna perbaikan bangsa dan negara. Gelombang aksi yang begitu hebohnya saat itu oleh berbagai elemen mahasiswa dan di sokong oleh kekuatan rakyat (people power) mampu mendobrak rezim orba hingga pada tanggal 21 Mei 1998, pimpinan tertinggi negeri ini menyatakan menguindurkan diri. Momen tersebut dianggap sebagai titik awal bergulirnya tuntutan reformasi guna menata bangsa dan negara yang selama 32 tahun dianggap telah carut marut karena berbagai kebijakan yang tidak responsif dan cenderung represif.
[2] Melalui terbukanya pintu tersebut, maka agenda reformasi dapat berjalan secara berkesinambungan.
Selama lebih dari 32, bahkan sejak rezim otoritarian orde lama dengan demokrasi terpimpimnnya berbagai praktik kekuasaan dapat dikatakan semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law. Berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan tindakan represif dari aparat keamanan khususnya ABRI selalu menjadi upaya utama guna menjaga stabilitas pemerintahan.
Di balik carut marutnya praktik pemerintahan di atas dan dibarengi momentum kejatuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 membangkitkan perlawanan guna menegakkan kembali prinsip-prinsip negara demokrasi dan negara hukum. Dari kerangka cita tersebut kemudian dilahirkanlah gagasan point-point tuntutan dan agenda reformasi. Masing-masing tuntutan sendiri mencerminkan kegagalan pemerintah orde baru dalam menjalankan pemerintahannya, atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kebutuhan pelembagaan negara hukum yang demokrastis. Berturut-turut agenda-agenda tersebut akan diuraikan di bawah ini.
[3]
• Amandemen UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
[4]
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan MPR yang dilekatkan label sebagai pemegang kedaulatan rakyat, mandans-nya Presiden, yang artinya pemberi kewenangan kepada Presiden, dalam kenyataanya tidaklah demikian. MPR yang seharusnya diharapkan dapat menjadi kekuatan yang membatasi kekuasaan Presiden mengalami mallfungsi, dalam arti, secara kelembagaan memang mungkin namun secara perseorangan keanggotaan MPR sulit diwujudkan. MPR yang komposisinya terdiri dari Anggota DPR, Anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan, menjadi tidak berdaya di bawah Presiden Soeharto karena secara organisatoris berada di bawah Soeharto. Anggota DPR yang komposisinya sebagian besar dari Golkar maupun Fraksi ABRI secara person to person harus tunduk pada komando pimpinan, yang kebetulan juga tampuk pimpinannya di jabat oleh Presiden Soeharto
[5]. Ditambah lagi Anggota dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang tidak dipilih tapi diangkat oleh Presiden atas usul daerah. Tentu sangat sulit pengawan dapat menyentuh Mandataris MPR, Presiden. Jadilah kekuasaan Presiden menjadi seolah-olah absolut. Padahal sebagaimana dalil Lord Acton “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutelly”.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar: ketatanegaraan Indonesia, kedaulatan rakyat, Jaminan perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
• Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI
Penghapusan Dwifungsi ABRI adalah adalah satu pilar utama tuntutan dalam perlawan rakyat terhadap Orde Baru. Menurut Harold Crouch dalam bukunya berjudul Militer dan Politik Indonesia, keterlibatan tentara dalam kancah politik semakin nyata setelah sistem parlementer pada tahun 1957 mengalami kemacetan. Tentara memanfaatkan situasi ini untuk mendorong pengumuman darurat perang. Itu merupakan sebuah langkah setapak demi setapak yang memungkinkan para perwira tentara mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi administrasi, politik, dan ekonomi. Namun, keberadaan Dwi Fungsi ABRI ini lambat laun justru semakin meresahkan masyarakat. Langkah pertama untuk mengatasi masalah besar ini pada tanggal 1 April 1999 Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang ditujukan untuk memisahkan TNI dengan Polri. Selain itu, Habibie juga menghapus seluruh kewenangan TNI dan Polri di luar tugas utamanya. Dengan kata lain dwifungsi ABRI diakhiri. Bertolak dari Keppres itu nama ABRI diubah menjadi TNI dan Polri. Upaya dari Presiden Habibie ini kemudian diperkuat oleh oleh MPR dalam sidangnya tahun 2000 dengan mengeluarkan suatu ketetapan, yaitu Tap MPR No VI/2000 tentang pemisahan Polisi dari TNI dan Tap No VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polisi. Sebagai konsekuensi penghapusan Dwi Fungsi ABRI, awal 1999, Panglima TNI memerintahkan 4.000 perwira militer aktif yang saat itu menduduki jabatan di tubuh pemerintahan sipil di tingkat pusat dan daerah untuk kembali ke barak atau memilih pensiun dini jika masih berkeinginan memegang jabatan sipil tersebut.
[6]
• Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN
Isu ini menjadi amat penting karena menyangkut kepentingan dalam negeri dan aspek hubungan internasional. Tuntutan penegakan hukum bagi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme ini dilatar belakangi karena begitu kuat dan mengakarnya KKN di Indonesia. Tidak hanya pada lini pusat saja, melainkan sudah menggerogoti sampai pada satuan terkecil pemerintahan. Tentu saja kondisi ini semakin memperparah ketahanan bangsa ini dari aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Sistem perekrutan pejabat, pegawai atau jabatan apapun di pemerintahan yang dilandaskan pada prinsip kronisme tak ayal menjadikan aparatur pemerintahan tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Akhirnya rakyatlah yang lagi-lagi dikorbankan akibat dari buruknya pelayanan di berbagai sektor publik. Sebagai tindak lanjut amanat reformasi kemudian diterbitkanlah UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta satu paket dengan UU tersebut diundangkan juga UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penegakan Hak Asasi Manusia juga menjadi permaslahan yang amat penting untuk ditegakkan. Tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM baik yang berat maupun ringan yang telah dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan negara. Namun demikian yang menjadi sorotan asing misalnya pelaksanaan DOM di Aceh, Irian Jaya, TIM TIM dan penculikan dan penahanan aktivis-aktivis kampus dan prodemokrasi mendapat tanggapan yang sangat serius dari komunitas internasional. Dari itu semua salah satu sanksi yang diterima Indonesia adalah adanya embargo senjata dari Amerika Serikat. Dari kondisi diatas, guna memberikan jaminan dan perlindungan HAM bagi warga negara khususnya, di undangkanlah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• Otonomi Daerah
Ketimpangan ekonomi dan pembangunan antara daerah satu dengan yang lainya mewarnai pembangunan mas orde baru. Pemerataan pembangunan menjadi amsalah besar bagi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Ditambah lagi dengan ketiadaan kewenagan daerah dalam melaksanakan otonominya. Hal ini terjadi karena subtansi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah bukanlah UU Otonomi. Penamaan UU dengan diksi ”Pemerintahan di Daerah” menunjukkan sebenarnya yang hendak diatur bukanlah otonomi daerah, melainkan pengeturan pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat di daerah.
Sesuai dengan amanat reformasi, maka ditetapkanlah TAP MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik Hukum TAP MPR tersebut bertujuan hendak mewujudkan penyelenggaraan Otonomi Daerah yang dilaksanakan dengan memberikan kewenanganyang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Dengan amanat TAP MPR diatas, maka pada bulan Mei 1999 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan satu paket dengan UU Pemda diatas diterbitkan juga UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
• Kebebasan Pers
Salah satu dosa besar orde baru kepada rakyat dan konstitusi adalah ditekannya kebebasan pers. Kebebasan berbicara dan menyampaiakan pendapat yang seharusnya terlembagakan dalam suatu negara demokrasi dikikis dan hanya diberikan sedikit ruang bergerak oleh rezim orba. Dengan alasan guna mewujudkan stabilitas politik, dipilihlah kebijakan tidak bersahabat terhadap media massa. Tercatat Panji Masyarakat, Tempo dan media-madia lainnya menjadi korban kebijakan represif pemerintah ini. Kondisi ini sesungguhnya kontra produktif, dalam tataran pemikiran perwujudan nilai-nilai demokrasi dan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan bukan dalam perspektif kepentingan penguasa. Kebebasan pers yang bertanggung jawab justru akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan. Amanat reformasi tesebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pers.
• Mewujudkan kehidupan demokrasi
Salah satu perwujudan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan negara adalah terlembagakannya pemlihan umum yang bebas dan jurdil. Sejarah mencatat bahwa Pemilu tahun 1955 adalah Pemilihan Umum yang paling demokrastis setidaknya sampai dengan Pemilu tahun 1999. Namun kesuksesan tersebut berbalik seratus sembilan puluh derajat. Pemilu Tahun 1971 mengalami degradasi secara kualitas, berikut juga pemilu-pemilu selanjutnya pada masa orba. Terjadi banyak sekali pelanggran prinsip-prinsip Demokrasi, Prinsip pemilihan umum yang baik, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemaksaan fusi partai-partai peserta pemilu 1977 hanya menjadi 2 partai (PDI dan PPP) menjadi bukti pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kronisnya lagi adalah, pelanggaran-pelanggaran dalam pemilihan umum dilakukan secara sistemik oleh pemerintah sendiri. Disemua lini pemerintahan mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai dengan tingkat desa terlibat dalam pelanggaran asas tersebut. Pelanggaran juga terjadi secara komando dan terencana dari setiap lini jabatatan-jabatan politik yang hampir seratus persen dikuasai oleh Golongan Karya. Itulah mengapa pelanggaran pemilu tersebut dilakukan secara sistemik.
Langkah pertama sebagai tindak lanjut dari perwujudan demokratisasi, khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum adalah dengan pembentukan panitia pemilihan yang sifatnya tetap, mandiri dan bebas dari campur tangan dari pihak manapun dan badan pengawas yang mandiri pula. Jika sebelum tahun 1999 penyelenggara pemilu adalah pemerintah, maka pada tahun 1999 penyelenggaraan pemul dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat mandiri dan independen. Peserta pemilihan umum ini juga diikuti oleh banyak paertai politik.

C. Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Implikasinya Cita Negara Hukum Indonesia
Tidak perlu diperdebatkan lagi apakah Indonesia tergolong sebagai negara hukum atau tidak. Dalam berbagai fase kesejarahan, baik Indonesia di bawah UUD 45 Proklamasi, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, kembali lagi ke UUD 1945 (UUD Dekrit Presiden 5 Juli 1959), sampai pada UUD NRI Perubahan I-IV juga tidak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun untuk mengelaborasi lebih dalam, bahwasanya Indonesia adalah negara hukum, maka tentu saja harus diketahui pula kajian teoritik mengenai konsep negara hukum yang tentu saja telah lahir sebelum Indonesia diproklmirkan.
· Konsep Teoritik Negara Hukum
Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Sebagai sebuah embrio, gagasan mengenai Negara Hukum telah muncul sejak masa Plato dan Aristoteles. Para filusuf tersebut masih mendefinisikan negara hukum dikaitkan dengan negara kota (polis). Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk sedikit. Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan muyarawarah (eclesia), dimana seluruh warga negeranya ikut serta dalam urusan negara.
[7]
Pemikiran manusia tentang negara hukum mulai berkembang sejak abad XIX s.d abad XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum (Hestu Cipto, 2003; 12). Teori kedaulatan hukum menghendaki agar kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, hukum sebagai panglima dan hukum sebagai Rule of the Game. Oleh sebab itu setiap aktivitas penguasa (pemerintah/alat perlengkapan negara) termasuk warga negaranya harus tunduk dan patuh pada aturan hukum (asas legalitas).
Dalam sejarah ketatanegaraan selanjutnya dikenal adanya negara hukum dalam arti sempit atau lebih dikenal dengan negara hukum liberal sebagaimana ajaran Imanuel Kant & Fichte. Konsep negara hukum yang mereka ajarkan dikenal dengan konsep negara hukum liberal, konsep mana sangat dipengaruhi oleh faham liberalisme. Konsep negara hukum liberal merupakan anti thesis dari tipe negara polizei. Dalam negara polizei kekuasaan raja amat sangat besar dalam menentukan dan mengembangkan kesejahteraan rakyatnya, sedangkan dalam ajaran negara hukum liberal, peran negara justru diminimalisir dari campur tangan urusan rakyatnya. Dalam negara hukum liberal dikenal dua unsur saja, yaitu: 1) perlindungan terhadap HAM, 2) pemisahan kekuasaan.
Unsur-unsur negara hukum liberal kemudian dikembangkan oleh F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878). Modifikasi negara hukum baru ini lebih dikenak dengan nama Negara hukum formal, yaitu bahwasanya suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu :
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.

Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right).

· Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Amandemen UUD 45
Sistem pemerintahan Indonesia sebelum Amandemen UUD 45 tertuang dalam penjelasan UUD 1945, yang lebih dikenal dengan 7 (tujuh) kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia, yaitu:
· Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat);
· Sistem Konstitusional;
· Kekuasaan tertinggi di tangan MPR;
· Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.;
· Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;
· Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR;
· Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, meskipun tidak murni. Dikatakan tidak murni karena terdapat perbedaan secara teoritik antara sistem pemerintahan presidensiil murni yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan sistem presidensiil yang dikehendaki oleh UUD 45 sebelum Amandemen. Secara teoritik sistem presidensiil memeilki ciri sebagai berikut:
o Presiden adalah Kepala Negara & Kepala Pemerintahan;
o Presiden & Parlemen dipilih langsung oleh rakyat;
o Kedudukan Presiden & Parlemen sama kuat, sehingga Presiden tidak dapat membubarkan Parlemen, dan begitu juga sebaliknya, Parlemen tidak dapat menjatuhkan pemerintahan.
o Presiden mengangkat & memberhentikan menteri-menteri, dan karena itu menteri-menteri bertanggung jawab pada Presiden;
o Adanya prosedur Impeachment bagi Presiden, akan tetapi harus melalui prosedur pengadilan (pengadilan konstitusi) terlebih dahulu.
Dalam pada itu juga terdapat kekacauan secara teoritis dalam pelembagaan sistem pemisahan kekuasaan dalam negera sebagai salah satu pilar pokok dalam negara hukum. Memang gagasan-gagasan trias politika nampak sekali dalam batang tubuh (pasal-pasal) UUD 45. Dalam negara hukum, pemencaran kekuasaan politik negara adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Prinsip-prinsip negara hukum menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam negara melalui hukum. Karena pada prinsipnya yang memerintah bukanlah manusia, melainkan hukumlah yang memimpin. Kekacauan teoritis ini terjadi karena prinsip limitation of power yang dianut menurut UUD 45 adalah sistem pembagian kekuasaan vertikal. Dalam ajaran pembagian kekuasaan, ditekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaganya. Konsep pembagian kekuasaan kekuasaan didasarkan pada pemikiran bahwa hanya fungsi pokok masing-masing pemegang kekuasaan yang dibedakan.
Pasal 5 UUD 1945 menunjukan bahwa pemegang kekuasaan legilatif di Indonesia bukanlah DPR, melainkan Presiden. Konstruksi Pasal yang demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran tris politika, mengapa, karena trias politika menghendaki agar kekuasaan eksekutif dan legislatif dipisahkan, sedangkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen kedua poros kekuasaan tersebut berada ditangan Presiden. Bagaimana dengan kedudukan DPR ?. Undang-Undang Dasar 45 hanya menegaskan bahwa pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama, antara pemerintah dan DPR.
Disisi lain, ajaran pembagian kekuasaan di Indonesia juga dapat ditunjukkan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 45 (sebelum amandemen). Pasal tersebut berbunyi “kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini menunjukkan, bahwasanya, secara teoritis, semua kekuasaan negara berada ditangan MPR, kemudian kekuasaan tersebut dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara sesuai UUD 1945.
Menurut Moch Kusnardi, dengan mendasarkan pada UUD 1945, paling tidak terdapat tiga alasan mengapa system pemerintahan di Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan,yaitu :
[8]
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh satu organ/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.
¨ Undang-Undang Dasar 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.
· Penguatan Prinsip-Prinsip Negara Hukum Pasca Amandemen UUD 45
Amandemen UUD 45 merupakan salah satu agenda reformasi yang paling mendapat prioritas untuk diselesaikan guna mewujudkan pemerintahan yang berlandaskan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrastis secara kuat. Ditengarai, singkatnya dan kilatnya
[9] penyusunan UUD 45 telah memberikan celah dan kesempatan terhadap penyelengara negara guna mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan UUD tersebut yang mendorong dan melatarbelakangi perlunya Amandemen UUD dapat diuraikan sebagai berikut:
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
[10]
• Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden (executive heavy)
• Pasal-pasal multitafsir
• Praktek ketatanegaraan tidak sesuai dengan jiwa Pembukaan UUD 1945
Berangkat dari pemikiran perubahan UUD diatas, maka artikel ini mencoba mengelaborasi bagaimana penguatan prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD 45 Amandemen.
Pemikiran manusia tentang negara hukum mulai berkembang sejak abad XIX s.d abad XX. Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori kedaulatan hukum
[11]. Teori kedaulatan hukum menghendaki agar kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, hukum sebagai panglima dan hukum sebagai Rule of the Game. Oleh sebab itu setiap aktivitas penguasa (pemerintah/alat perlengkapan negara) termasuk warga negaranya harus tunduk dan patuh pada aturan hukum (asas legalitas).
Konsepsi-konsepsi negara hukum yang sejak berabad-abad lalu telah digagas oleh Kant dengan negara hukum liberalnya, Sthal dengan Rectsstaat-nya, Dicey dengan Rule of Law-nya ataupun pergeseran konsepsi lebih lanjut menjadi negara hukum materiil yang berprinsipkan Welfare Rechtsstaat tidak dapat disangkal telah masuk dan menjiwai UUD, baik sebelum amandemen maupun sesudah amandemen, tentu saja dengan tetap hadirnya wajah jiwa Pancasila di dalamnya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa setelah amandemen UUD 45 prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD NRI 1945 lebih dikuatkan dengan berpedoman pada konsep-konsep teoritis dan komparasi pada negara-negara hukum yang berlaku di negara-negara Barat. Dengan kata lain sebelum amandemen terhadap UUD 45, sebagaimana telah diuraikan di depan, meskipun tidak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi masih terdapat ketentuan-ketentuan dalam UUD yang tidak mendukung bagi terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan prinsip negara hukum.
Jimly Assidiqie menyatakan bahwa terdapat 12 prinsip pokok negara hukum di zaman sekarang. Kedua belas prinsip tersebut menjadi penyokong bagi tegaknya negara hukum. Kedua belas prinsip tersebut adalah: 1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law), 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), 3) Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), 4) Asas Legalitas (Due Process of Law), 5) Organ-Organ Eksekutif Independen, 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, 7) Peradilan Tata Usaha Negara, 8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia, 10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), 11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), 12) Transparansi dan Kontrol Sosial.
[12]
Untuk mengetahui apakah suatu negara termasuk tipe negara hukum atau bukan, perlu diselidiki apakah di dalam konstitusi/UUD negara tersebut tercantum penegasan baik secara eksplisit ataupun secara implisit bahwa negara tersebut menyatakan dirinya sebagai negara hukum atau bukan. Disamping itu perlu diselidiki juga apakah di dalam kostitusi/UUD tersebut atau peraturan perundang-undangan lainnya termuat mengenai ciri-ciri atau unsur-unsur yang penting bagi sebuah negara hukum[13]. Dengan berpegang pada konsep negara hukum mutakhir sebagaimana dikemukakanoleh Jimly diatas, maka akan ditelaah apakah dalam UUD terdapat prinsip-prinsip tersebut, sehingga dapat diketahui sejauhmana konsep negara hukum pasca amandemen UUD 45 telah terlembagakan secara kuat dalam sistem hukum indonesia.
Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
[14]
Dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) secara tegas dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketantuan dalam pasal tersebut hendak menegaskan bahwa terdapat dua prinsip kedaulatan, yaitu kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Kedua prinsip kedaulatan tersebut dikonsepsikan secara yuridis agar dapat dijalankan secara sinergis. Penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara yang berprinsipkan kedaulatan rakyat mengandung makna bahwa kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan, dan negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), tetapi berdasarkan atas hukum atau rechtsstaat.
[15] Supremasi konstitusi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dijalankan oleh organ-organ negara yang dalam pelaksanaan tugasnya diatur dan dibatasi konstitusi/UUD.
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Dalam negara hukum, maka setiap warga negaranya mendapatkan jaminan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, tanpa membedakan ras, golongan, agama, ideologi, ataupun yang lainnya. Prinsip perlindungan persamaan didepan hukum oleh negara juga berlaku bagi setiap orang selain warga negara. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.
[16]
Dalam pada itu ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia juga ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1), yaitu:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Pembatasan Kekuasaan (limitation of power)
Setiap kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk menyeleweng dan menindas, kekuasaan yang tidak terbatas akan dapat menimbulkan penyelewengan yang maha dhasyat, oleh karena itu kekuasaan negara perlu dibatasi. Dengan adanya pembatasan kekuasaan tersebut diharapkan setiap potensi kesewenang-wenangan suatu kekuasaan tidak akan menjadikan tiran baik terhadap rakyat maupun dalam hubungannya dengan poros-poros kekuasaan lainnya. Pentingnya pembatasan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan di Eropa, yang dikemudian hari dikenal sebagai teori trias politika. Dalam teori pemisahan kekuasaan trias politica, masing-masing organ atau kekuasaan negara harus dipisah, karena memusatkan lebih dari fungsi pada satu orang atau organ pemerintah akan membahayakan kebebasan warga negara. Sebagian besar negara-negara didunia telah mengadopsi teori ini, namun tentu saja dengan corak dan modifikasi yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing negara. Modifikasi ini antara lain terlihat dengan adanya ajaran pembagian kekuasaan dan ajaran check and balances.
Setelah amandemen UUD 45 I-IV dapat dikatakan, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengdopsi prinsip-prinsip separation of power dan check and balances. Praktek pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances di Indonesia dapat dilihat dari uraian berikut:
[17]
a) Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah;
b) Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah;
c) DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU (khusus sesuai kewenangannya), meskipun fungsi bikameralisme yang diemban DPD masih dilemahkan oleh UU SUSDUK;
d) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan;
e) Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU;
f) DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan;
g) Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.
h) Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi;
i) Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 45 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan;
j) Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu),
k) dan lain sebagainya.

Asas Legalitas (Due Process of Law)
Asas legalitas sebagai prinsip negara hukum mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah (dalam arti yang luas) harus didasarkan atas hukum. Asas legalitas menghendaki agar setiap tindakan pemerintah didasarkan pada aturan hukum yang telah ada/berlaku sebelum tindakan tersebut dilaksanakan. Aplikasi asas ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam KUHAP, KUHP, UU PTUN, dan lain sebagainya. Dalam Pasal 28I ayat (1) juga ditegaskan bahwa:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Organ-Organ Eksekutif Independen
Dalam rangka menegakkan prinsip pembatasan kekuasaan di Indonesia saat ini dikembangan pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, misalnya Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, dan lain-lain. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa guna melangengkan kekuasaan, misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, KPU dapat diintervensi guna mengatur hasil Pemilu, dll.
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Prinsip independen dan impartial dalam lembaga peradilan mutlak harus ada pada setiap Negara Hukum. Dalam aspek objektifitasnya (impartial) hakim tidak boleh terpengaruh oleh siapapun dan kepentingan siapapun, kecuali kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dari segi independensinya, hakim harus dijamin kebebasannya dari pihak manapun, terlebih dari pihak penguasa. Isyatar-isarat ini tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.*** )”
Peradilan Tata Usaha Negara
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari perbuatan administrasi negara yang dirasa merugikan. Harus terdapat mekanisme kontrol peradilan terhadap segala tindakan penguasa yang memiliki kecenderungan untuk berbuat sewenang-wenang. Artinya, keberadaan Peraditan TUN selalu dikaitkan oleh adanya sengketa TUN sebelumnya. Dalam pada itu, eksistensi Peradilan TUN telah sejak tahun 1986 dijamin oleh UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang kemudian dikukuhkan dalam konstitusi Pasal 24 ayat (2), menyangkut lingkungan peradilan di Indonesia.
Peradilan Tata Negara
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara, guna menjamin tegaknya/supremasi konstitusi diperlukan juga adanya Peradilan Tata Negara yang diharapkan dapat memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara dan tegaknya supremasi konstitusi. Pentingnya Peradilan Tata Negara yang di Indonesia terlembagakan dalam Mahkamah Kostitusi menjadi amat penting guna mendukung berjalannya prinsip check and balances. Dalam pada itu Pasal 24C UUD memberikan kewenangan-kewenangan pada MK, yang kemudian di jabarkan lebih lanjut dalam UU tentang MahkamahKonstitusi.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
Indonesia sebagai negara hukum memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia maupun hak-hak warga negara sebagaimana terurai dalam konstitusi mapun peraturan perundang-undangan lainnya. Sebelum amandemen UUD 45 khususnya sebelum reformasi, kebijakan formulasi maupun implementasi jaminan perlindungan HAM kurang mendapat tempat dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya, meskipun demikian jaminan perlindungan Hak-Hak Warga Negara lebih mendapatkan tempat, hal ini tidak lain karena Politik Hukum perlindungan HAM saat perumusan UUD 45 belum mendapatkan perhatian, bahkan cenderung ditinggalkan karena HAM dianggap berlandaskan prinsip individualisme barat, sementara Indonesia menurut pandangan founding fathers berfaham kekeluargaan dan kegotongroyongan;
Setelah era refomasi bergulir, Politik Hukum Jaminan Perlindungan HAM mulai mendapat tempat dalam Sistem Hukum Indonesia. Hal ini nampak dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, TAP yang merupakan sumber hukum formal setelah konstitusi. TAP MPR tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No.39 Tahun 1999, UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
Perwujudan negara demokrasi dan pemerintahan yang demokrastis berakar pada teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat menghendaki agar kekuasaan dalam negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan. Jaminan pelaksanaan Pemilihan Umum yang JURDI dan LUBER merupakan syarat utama guna mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Dalam artian yang lain, negara yang melembagakan prinsip-prinsip demokrasi memberikan jaminan dan mendorong peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah perwujudan kemauan rakyat melalui wakil-wakilnya yang legitimet.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka dapat kita temukan dalam Pasal-Pasal UUD 45, bagaimana prinsip-prinsip negara demokrasi telah terlembagakan dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (1), jo Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 22E, Pasal 27, Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 dan tentu saja berbagai peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Negara Hukum Kesejahteraan
Konsep negara hukum kesejahteraan tidak hanya sebagai pencipta hukum dan penjaga ketertiban, melainkan sudah mulai ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum warga negaranya. Dalam istilah Lamaire, negara diproyeksikan sebagai penyelenggara kesejahteraan umum (Bestuurszorg) negara yang dulunya hanya sebagai penjaga ketertiban dan pelaksana Undang-Undang, berubah fungsinya menjadi penyelenggara kesejahteraan umum. Perkembangan negara hukum baru ini disebut sebagai Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Kesejahteraan (Welfare State). Dalam konteks negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka kita dapat temukan dasar hukumnya dalam Pembukaan, Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, maupun pasal-pasal lainnya.
Transparansi dan Kontrol Sosial
Transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.
[18] Adanya kontrol sosial dalam pemerintahan merupakan perwujudan dari kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang merupakan kekuatan ekstra parlementer, guna mendukung, melengkapi kinerja parlemen yang barangkali tidak merepresentasikan kehendak rakyat.





D. Penutup
· Salah satu agenda reformasi adalah tuntutan untuk mengamandemen UUD 45 yang dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman telah membawa pergeseran yang cukup signifikan dalam memberi warna baru terhadap penguatan prinsip negara hukum Indonesia;
· Akan tetapi dapat dikatakan bahwa setelah amandemen UUD 45 prinsip-prinsip negara hukum dalam UUD NRI 1945 lebih dikuatkan dengan berpedoman pada konsep-konsep teoritis dan komparasi pada negara-negara hukum yang dianut oleh negara-negara hukum di dunia.
· Dalam UUD NRI Tahun 1945 (Amandemen) telah terkandung prinsip-prinsip negara hukum masa kini, yang pada intinya prinsip-prinsip negara hukum mutakhir telah terserap dalam sistem hukum nasional., prinsip-prinsip tersebut adalah adanya: 1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law), 2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), 3) Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), 4) Asas Legalitas (Due Process of Law), 5) Organ-Organ Eksekutif Independen, 6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, 7) Peradilan Tata Usaha Negara, 8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), 9) Perlindungan Hak Asasi Manusia, 10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), 11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), 12) Transparansi dan Kontrol Sosial











DAFTAR PUSTAKA

Jimly A, Membangu Budaya Sadar Berkonstitusi, Artikel disampaikan pada acara Seminar“Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, Jakarta, 8 Juli 2008

-----,2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta,

Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press

Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, 2004, Bayu Media, Malang

MPR RI, Bahan Sosialisasi Putusan MPR RI terhadap UUD 1945, diterbitkan oleh Setjen dan Kepaniteraan MPR RI tahun 2003

Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press1988

http://heryabduh.wordpress.com/2009/03/04/politik-hukum-judicial-review-sebuah-T injauan-singkat-terhadap-undang-undang-nomor-24-tahun-2003-tentang-mahkamah-konstitusi/
[1] Nabi Muhammad membawa angin revolusi dari kondisi masyarakat arab jahiliah, kesukuan, berperadaban rendah menuju masyarakat yang berperadaban setingkat lebih maju, hidup secara komunitas dalam sebuah negara khilafah (praktek selanjutnya lebih mendekati teori negara republik)..
[2] Nonet dan Selznik mengkategorikan hokum kedalam tiga tipe, yaitu: hokum represif, hokum otonom dan hokum responsive.
[3] Agenda reformasi 98 di kutip dari Bahan Sosialisasi Putusan MPR RI terhadap UUD 1945, diterbitkan oleh Setjen dan Kepaniteraan MPR RI tahun 2003.
[4] Jimly A, Membangu Budaya Sadar Berkonstitusi, Artikel disampaikan pada acara Seminar“Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, Jakarta, 8 Juli 2008
[5] Mantan Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, posisi paling senior dalam Partai, Ia juga Panglima Besar ABRI, dan secara garis komando militer ”bawahan harus mengikuti perintah komandan”.
[6] Tuti Herlina, artikel Dikuti dari :http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2616
[7] Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press1988; 153).
[8] Kusnardi, Muh & Ibrahim Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, UI Press, 1988; hal. 181
[9] Soekarno mengatakan UUD 45 adalah UUD kilat
[10] kekacauannya dapat dilihat pada bahasan mengenai Amandemen UUD 45
[11] Hestu B. Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal. 12.
[12] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 154-161
[13] Joeniarto dalam Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, 2004, Bayu Media, Malang, hal. 83
[14] Opcit. Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 154
[15] Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, hal.6
[16] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 155
[17] http://heryabduh.wordpress.com/2009/03/04/politik-hukum-judicial-review-sebuah-tinjauan-singkat-terhadap-undang-undang-nomor-24-tahun-2003-tentang-mahkamah-konstitusi/
[18] Jimly A, 2006, Konstitusi dan Konstutionalisme Indonesia, Sekjend dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, hal. 161

Sabtu, 07 Maret 2009

POTRET PERADILAN ADMINISTRASI INDONESIA

A.Pendahuluan
Pemikiran manusia tentang negara hukum berkembang dalam berbagai situasi sejarah peradaban manusia. Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa, faham filsafat dan ideologi politik suatu negara.
Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila, bertujuan mencapai masyarakat yang adil, makmur dan merata, baik materill maupun spirituil. Negara Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat saja, akan tetapi lebih luas dari pada itu. Negara berkewajiban turut serta dalam hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan masyarakat. Konsep negara hukum yang diadopsi oleh negara hukum Pancasila (Indonesia) adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ajaran negara hukum inilah yang kini dianut oleh sebagian besar negara-negara didunia. Konsep negara hukum muncul sebagai reaksi atas konsep negara legal state atau konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaats). Konsep negara ini memberikan batasan turut campurnya negara dalam bidang poltik, ekonomi dan sosial, sehinga oleh karenanya pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dalam menjalankan fungsi pemerintahannya (executive functions). Ciri utama dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) adalah kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya (Ridwan H.R, 2003: 11).
Turut sertanya pemerintah dalam hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan itu telah ditetapkan sebagai tujuan negara Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut : ….“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Salah satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. Dalam kepustakaan ilmu negara, asal usul kekuasaan selalu dihubungkan dengan kedaulatan (souvereignity atau souvereigniteit). Kedaulatan merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal dan tidak berada dibawah kekuasaan lain (S.F. Marbun, 2003: 1).
Dalam kepustakaan ilmu negara terdapat beberapa teori tentang kedaulatan, antara lain, teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan rakyat, teori kedaulatan negara dan teori kedaulatan hukum. Indonesia sendiri mengadopsi dua teori kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan ketiga) Pasal 1 ayat (2), yang berbunyi “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan dalam Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif (langsung) ataupun secara perwakilan. Sedangkan menurut teori kedaulatan hukum, negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), tetapi berdasarkan atas hukum atau rechtsstaat (S.F. Marbun, 2003: 6).
Negara hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah hukum yang demokratis yang didasarkan atas kehendak rakyat sesuai kesadaran hukum rakyat, sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap hukum, yaitu keadilan (S.F. Marbun, 2003: 6).
Negara hukum dan kedaulatan hukum ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak terpisahkan. Suatu negara belum dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara tersebut tidak memiliki kedaulatan hukum. Dalam konsep rechtsstaat, hukum adalah panglima tertinggi.
Sjahran Basah berpendapat, ….arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya yaitu kedaulatan hukum. Disamping itu para pendiri negara dalam membentuk pemerintahan negara Indonesia telah menentukan pilar lainnya, yaitu kedaulatan rakyat. Hal yang demikian mewujudkan perpaduan integral antara paham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Kemudian hal tersebut dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara negara hukum pada satu pihak dan negara kekuasaan di pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktatur atau bentuk lainnya semacam itu, yang tidak dikehendaki dilaksanakan di persada pertiwi ini (Sjachran Basah, 1992: 1).
Sebagai negara yang berlandaskan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat), maka setiap tindakan negara harus berdasarkan atas hukum. Termasuk dalam pengertian negara adalah pemerintahanya, lembaga-lembaganya (baik Departemen maupun Instansi) dan aparatur negaranya yang didalam melaksanakan tugasnya harus selalu berlandaskan kepada hukum dalam arti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berlaku.
Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwasanya Indonesia adalah negara hukum kesejahteraan atau negara hukum dalam arti materiil (welfare state), sehingga oleh karenanya negara atau pemerintahnya berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Berkenaan dengan kewajiban tersebut pemerintah memiliki kewenangan yang relatif besar untuk memasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Beranekaragamnya masalah dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi warganya memberikan suatu kewenangan khusus yang hanya dimiliki oleh pemerintah, yaitu Freies Ermessen atau Discretionaire. Freies Ermessen adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah penting yang mendesak yang datang secara tiba-tiba dimana belum ada peraturannya (S.F. Marbun, 2003: 9).
Konsekuensi yang logis dari negara kesejahteraan adalah bahwasanya Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memiliki wewenang eksekutif yang luas dan bahkan memiliki aparat-aparat kekuasaan umum yang bilamana perlu dapat melaksanakan kehendaknya terhadap barang siapa yang membangkang atau merongrong kebijaksanaan pemerintah, demi tercapainya tujuan Negara (Hadin Muhjad, 1985: 12).
Melihat pendapat Hadin Muhjat diatas dapat kita lihat betapa besarnya kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah, sedangkan organ pelaksana pemerintahan sendiri adalah juga manusia biasa yang sesuai dengan sifat alaminya, bisa berbuat salah, lupa, alpa, ataupun kemungkinan untuk cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Seorang bangsawan Inggris, Lord Acton, pernah melukiskan tentang kecenderungan pemerintah untuk berbuat korup, yaitu “power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely” (kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk korup, kekuasaan yang absolut mempunyai kecenderungan untuk korup secara absolut). Oleh karaena itu tidak jarang tindakan Pemerintah yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian bagi rakyat (orang atau badan hukum), minimal tindakan tersebut tidak menyenangkan.
Guna menegakkan hukum, serta mememperoleh pemerintahan yang bersih dan berwibawa (the clean and strong government), maka diperlukan badan peradilan yang bertugas mengawasi segala tindakan pemerintah yang merugikan rakyat, atau dengan kata lain diperlukan adanya suatu badan peradilan tata usaha guna menegakkan hukum administrasi materiil.
Hukum Administrasi Negara sebagai pisau analisa yuridis Hakim TUN dan sekaligus sebagai landasan kerja bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang mengemban kewajiban dalam melaksanakan public service harus berperan aktif, sehingga peranan politik hokum menjadi sangat penting dalam memilih hokum yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai politik hokum, tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan hukumnya. Dalam pembangunan hokum, menurut Jhon Henry (dalam Abdul Hakim G Nusantara, 1988; 27-28) dapat didekati dari model strategi pembangunan hokum yang dipilih, yang dibedakan dalam stretegi yang ortodok yang mengutamakan peranan Negara/parlemen dengan produk perundang-undangan, dan model responsive yang mengutamakan peran peradilan yang berarti besarnya partisipasi masyarakat.
Lahirnya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya adalah untuk mewujudkan Negara hokum, yang dalam hal ini adalah Negara hokum Pancasila. Sebagai Negara kesejahteraan, maka pelembagaan peradilan tata usaha Negara adalah hal yang sangat wajar, bahkan memilki urgensi yang tinggi. Apalagi jika mengutip pendapat F.J Stahl tentang unsur-unsur negara hukum, maka keberadaan Badan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia adalah mutlak adanya.

B.Konsep Negara Hukum dan Relevansinya Dengan Pembentukan Peradilan Administrasi
Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur Rechtsstaat dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878), diintrodusir bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu:
a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.
Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan, muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn Dicey ini berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem (termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur :
a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual Right)
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas hokum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah keharusan adanya Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat.
Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law, menganggap bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan (S.F Marbun, 8; 2003). Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis perkara lain (Riawan Tjandra, 3: 2005).
Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi negara hukum formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalah-masalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire). Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundang-undangan, antara lain : 1). Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU, 2). Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan dibawah UU, dan 3). Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.
Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi terjadinya de’tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur (perbuatan sewenang-wenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun (10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).
Akibat diberikannya kekuasaan yang besar kepada negara untuk mengurus negara dan mensejahterakan warga negaranya, warga negara membutuhkan adanya jaminan perlindungan hukum yang cukup terhadap kekuasaan negara yang besar tersebut. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, dibutuhkan satu media atau institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat, untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hokum moderen dewasa ini , salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen, secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata. Proses-proses peradilan dari mulai masuknya suatu perkara, hingga pelaksanaan putusan , sering dianggap sebagai indikator serta bukti berjalannya hukum di suatu negara. Salah satu lembaga peradilan di Indonesia, adalah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). PTUN ini mendapat tugas khusus, yakni sebagai salah satu badan peradilan, yang memberi akses keadilan bagi pencari keadilan di bidang tata usaha negara. PTUN lahir berdasarkan UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan baru efektif 5 (lima) tahun kemudian atau tepatnya tahun 1991.
Jika melihat rentetan perjalanan konsep Negara hokum dalam dimensi kesejarahan diatas, maka tepatlah apa yang dinyatakan oleh Sunaryati Hartono dalam Martiman Projohamidjodjo (1993; 11-12), yaitu “urgensi suatu PERATUN tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan intern (penulis lebih sepakat ekstern) terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan harus dipegang teguh oleh) Negara hokum. Akan tetapi, yang benar-benar berfuungsi sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif diberi wewenang untuk menilai dan mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh pejabat eksekutif kita.

C. Politik Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara : Suatu Tinjauan Kesejarahan
Pada masa Hindia Belanda belum terdapat peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut adalah:
1) Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS,
2) Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in Indonesie),
3) Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi Staatsblad 1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor Belastingzaken) dan
4) Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi bendaharawan (Comptabelrechtspraak).

Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD, 177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan).
Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pembentukan PERATUN sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan tekad negara dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia dari tindakan administrasi negara yang dirasa merugikan. Namun demikian, pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam negara Pancasila memiliki kekhasan yang menunjukkan ciri dari Sistem Hukum Pancasila.


D.Peradilan Tata Usaha Negara dan Negara Hukum Pancasila
Meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal dan diakui oleh bangsa-bangsa beradab, namun pada tataran implementasi ternyata memiliki ciri dan karakter yang beragam. Hal ini terjadi karena pengaruh situasi kesejarahan tadi disamping pengaruh falsafah bangsa dan ideologi politik suatu negara. Secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila (Tahir Azhari dalam Ridwan H.R, 2003: 1).
Konsep negara hukum Pancasila dapat disandingkan dengan konsep negara-negara hukum lain didunia. Konsep negara hukum Pancasila berakar dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Menurut Supomo, Negara Hukum Pancasila menganut faham integralistik, sebuah faham yang sangat berbeda dengan faham komunisme dan liberalisme-kapitalisme, Ciri-ciri khusus yang membedakan negara hukum pancasila dengan faham negara hukum lainnya dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
1) Negara hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan;
2) Tidak mengenal sekulerisme mutlak;
3) Kebebasan beragama dalam arti positif, setiap orang diharuskan beragama;
4) HAM bukanlah titik sentral, tapi keserasian hubungan antara pemerintah & rakyat lebih diutamakan.
5) Demokrasi disusun dalam bingkai permusyawaratan perwakilan.
Menurut Padmo Wahyono, unsur-unsur utama negara hukum pancasila adalah:
1) Hukum harus bersumber pada Pancasila, Pancasila adalah sumber segala sumber hukum;
2) Negara berdasarkan atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka;
3) Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional;
4) Equality before the law;
5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka
Kalau ditelaah dari latar belakang sejarahnya, baik konsep rule of law maupun konsep rechtstaat lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenang-wenangan penguasa, sedangkan negara Republik Indonesia sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenang-wenangan atau absolutisme. Baik konsep rule of law mapun rechtstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik central, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik central adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. Dalam Negara Hukum Pancasila juga menunjukkan adanya ciri hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, disamping itu juga dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan unsur terakhir (PM Hadjon, 1985;84).
Untuk mengetahui bagaimana Politik Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila terhadap pelembagaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di Indonesia, maka perlu untuk mengatahui bagaimana tujuan dan fungsi Peradilan TUN. Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu;
b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).
Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi.
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam Negara Hukum Pancasila penyelesaian. Sarana penyelesaian konflik atau sengketa Tata Usaha Negara dikonstruksikan melalui 2 jalur, yaitu jalur upaya administrative yang menekankan upaya permusyawaratan dan perdamaian (di luar pengadilan) dan upaya peradilan yang kedudukannya netral, impartial, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan, keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan rakyat.
Menurut Riawan Tjandra (2005; 2), Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas-luasnya. Dalam menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti luas) harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat (kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat).
Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara (Riawan Tjandra, 2005; 2). Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku.
Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara (Gundnorm).
Bertolak dari pemikiran demikian, maka sesungguhnya Negara Hukum Pancasila hendak mewujudkan perlindungan hokum bagi individu-individu warga negaranya, sekaligus melindungi kepentingan umum. Dibukanya kran kebebsan warga negara sama sekali tidak menghilangkan dimensi kepentingan public yang diwakili oleh nagara. Kepentingan warga negara sebagai individu adalah penting, namun kepentingan public juga tidak kalah pentingnya, dan oleh karenanya juga harus dilindungi oleh hokum. Dengan kata lain, dimensi perlindungan hokum terhadap rakyat sedapat mungkin berjalan secara sinergis antara kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan public.
E. Penutup
Terdapat hubungan teoritik antara urgensi dan eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan dianutnya asas negara hokum dalam system hokum Indonesia. Kebijakan formulasi atas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia telah melalui lika-liku kesejarahan yang panjang, dimulai dari usaha Wiryono Projodikoro yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara, juga dari amanat Ketetapan MPR, usaha-usaha yang dilakukan oleh LPHN/BPHN dalam rangka penyusunan RUU PTUN, sampai pada amanat UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hingga pada akhirnya pada taun 1986 diterbitkanlah UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang mulai berlaku efektif tahun 1991. Dalam perspektif Negara Hukum Pancasila (secara konseptual), keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara mengandung konsep perlindungan hukum yang mono-dualistik, ialah ide keseimbangan antara perlindungan kepentinga publik sekaligus kepentingan individu warga negara.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Rozali. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

Basah, Sjachran. 1987. Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA). Jakarta: Rajawali Press.

--------. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

Harahap, Zairin. 2002. Hukum Acara peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Indroharto. 1991. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Marbun, SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Muchsan. 1991. Peradilan Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.

Muhjad, M. Hadin. 1985. Beberapa Masalah Tentang Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum: Suatu studi tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat Dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah, Prenada Media, Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1988. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta : Liberty.

Prodjohamodjojo, Martiman. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia.


Tjandra, Riawan. 2005. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas Admajaya Yogyakarta.

Utrecht, E. 1986. Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia. Surabaya: Pustaka Tita Mas.

Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam satu naskah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang Nomor 10 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negar).